Muhammad Akbar (12) atau Akbar tidak seberuntung bocah sebayanya yang bebas bermain jauh dari rumahnya. Akbar bahkan tak bisa lagi melanjutkan sekolah ke SMP setelah menamatkan sekolah dasar di SD 11 Baurung Majene Sulawesi Barat.
"Sebenarnya saya mau sekolah, tapi saya yang urus disini ibuku, siapa yang mau suapi makanan ibuku kalau bukan saya? Dan juga saya tidak punya biaya untuk sekolah," kata Akbar.
Yah, karena Ibunya, Husnia (48), terbaring sakit sejak 14 tahun lalu akibat maag kronis dan asam urat, Akbar terpaksa putus sekolah.
Bukannya Akbar anak semata wayang, ia memiliki dua kakak kandung seibu sebapak, satu laki-laki dan seorang perempuan. Tapi Kakak lelakinya pergi merantau sedangkan yang perempuan melanjutkan sekolahnya ke tingkat SMA.
Akbar rela berkorban tak harus sekolah demi cita-cita keluarga ingin hidup lebih baik kelak dengan memperjuangkan salah seorang dari mereka bisa terus bersekolah. Meski selalu dihantui kekuatiran sekolah kakaknya akan sampai dimana karena kondisi ekonomi keluarga yang memprihatinkan.
Di gubug ukuran sekira 3m X 4m yang terbuat dari papan-papan bekas inilah Akbar merawat ibunya. Ia yang masih 12 tahun merawat ibunya, dari menyuapi makanan hingga membersihkan tubuh ibundanya. Akbar tinggal bertiga di rumah itu. Ia, Husni ibunya, dan Rosita kakak perempuannya.
Husni Pasrah Di Pembaringan
Gubuk ukuran 3m X 4m. Dindingnya terbuat dari papan-pan bekas yang sudah lapuk sehingga gempuran sinar matahari dari luar dengan bebas menerobos ruangan. Bagian atapnya pun tak jauh beda dengan dinding. Inilah rumah Husni dan disinilah ia dirawat anaknya yang terpaksa hrus putus sekolah.
Husni tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya terbaring di atas kasur tipis yang sudah tak lagi dikenali warnanya dan kelambu usang melindunginya dari nyamuk.
Tubuhnya hanya dilapisi selembar kain yang lusuh. Pundak, muka, dan kepala ditempeli beberapa lembar daun yang biasa digunakan sebagai pengganti kain kompres.
Sebenarnya, Husnia pernah dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Majene, namun karena alasan biaya dan tidak ada perubahan atas penyakitnya, ia memutuskan untuk pulang ke rumahnya.
Sekarang ia tak pernah lagi berobat kecuali pasrah di pembaringan. Ia hanya sering menangis tak kala mengingat anaknya, Akbar, yang tak bisa lagi melanjutkan sekolahnya. Padahal Akbar dan saudaranya terbilang anak yang cukup cerdas. Namun kecerdasan yang dimilikinya tak mampu melawan kondisi keluarga yang menghimpit.
Suami Husni, Muhammad Daeng Situju (80) sudah sangat tua. Ia cuma pekerja serabutan. Sekarang berada di Topoyo, Kabupaten Mamuju Tengah merantau untuk menafkahi istri dan kedua anaknya. Setiap bulannya, Daeng Situju hanya mengirimkan yang jumlahnya tidak seberapa.
"Bapakku sudah tua, sudah tidak kuat bekerja, dia hanya mengirim uang 300 ribu atau paling banyak 500 ribu yang dia kirim, ya itu tidak cukup untuk biaya sehari-hari tapi kami berusaha menggunakannya seirit mungkin," kata Rosita, anak perempuan Akbar.
Rosita kini duduk dibangku kelas XI SMKN 1 jurusan perhotelan. Rosita mengaku ingin lanjut kuliah di Makassar. Tapi keinginannya itu dirasa sesuatu yang mustahil mengingat ketidakmampuan ekonomi keluarganya. Untuk kebutuhan sehari-hari saja hanya bergantung pada kiriman uang dari bapaknya yang tidak menentu. Beruntung, tetangga sering membagi beras.
"Uang semester saya hanya mengharap dari kiriman bapak saya dan beasiswa yang didapatkan dari sekolah saya," kata Rosita
Rosita anak yang cerdas. Waktu SD tak satupun yang dapat mengalahkan nilainya. Buku rapornya hanya tertulis rangking satu mulai dari kelas I sampai lulus SD.
"Waktu SMP saya juga rangking pertama di SMP 7 Majene, dan Alhamdulillah di SMK 1 saya juga sempat meraih rangking pertama semmester pertama dan ranking kedua saat semester dua," tutur Rosita ketika ditanya soal prestasi akademiknya.
Rosita dan Akbarlah yang secara bergantian merawat ibunya. Mereka berharap ada keajaiban bisa menyembuhkan ibunya karena untuk berobat ke rumah sakit ia tak memiliki apa-apa.(Irwan)