Semenjak , Markus menikah dengan Paulina sejak Tahun 1976 kini ia telah dikaruniai enam orang anak dimana tiga diantaranya lulusan SMA sederajat dan 3 diantaranya lulusan Strata Satu (S1) berkat hasil budidaya tanaman holtikultura yang selama ini dijalankan.
“Awalnya saya menekuni budidaya tanaman kopi di lima titik perkebunan, termasuk di wilayah Kalambea’ sekitar perbatasan Taupe-Ulumambi dengan hasil mencapai 5-6 ton namun keterbatasan tenaga untuk melakukan perawatan serta harga yang kadang tidak menentu sementara tuntutan sehari-hari dalam keluarga dan anak-anak bangku pendidikan setiap saat butuh biaya dan padi sisi lain kopi dipanen permusim sehingga saya putuskan beralih ke tanaman semusim atau sering dikenal holtikultura,”tutur Markus.
Ayunan kaki dalam laras panjang terus berlangsung tepat di bagian depan kami untuk menunjukkan beberapa jenis tanaman holtikultura lainnya, Markus menerangkan. Dengan mengandalkan tenaga manusia dan kuda saat menggangkut hasil panen kopi sangat menguras tenaga dan keuangan sedangkan setiap tahun atau permusim bahkan ada kalanya hasil kopi tidak maksimal bahkan hanya menutupi biaya pemeliharaan tanaman kopi.
Sambil duduk dibawah naungan tenda sebagai tempat melepaskan lelah, Markus kembali mengungkapkan. Sejak Tahun 2004 ia telah memutuskan beralih ke tanaman holtikultura setelah mengikuti pendampingan Yakomi (Yayasan Komunitas Indonesia) Tahun 2003 dibawah naungan jaringan 9 Negara termasuk Nederland.
Kegiatan di Yakomi petani tidak diberikan dana namun pengetahuan lewat studi banding ke beberapa perkebunan holtikultura.
“Awalnya ada 36 kelompok tani di Kabupaten Mamasa yang didampingi namun hanya saya yang sering disebut Petani Nakal yang terus melanjutkan kegiatan holtikultura atau dengan kata lain tanaman semusim,” kata Markus sambil tersenyum.