Screen shoot diskusi, saat Agung Dharmajaya tampil berbicara
Kekerasan terhadap perempuan dan anak selama masa pandemic covid-19 mengalami peningkatan. Upaya yang dilakukan para pegiat peduli gender selama ini seakan hancur berantakan, nyaris kembali ke nol. Padahal upaya itu telah menunjukkan arah positif. Namun dengan pandemic covid-19 datang meluluhlantakkan semua. Pandemic covid-19 memang mengubah segalanya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak yang peduli terhadap perempuan dan anak.
Laporan kekerasan terhadap perempuan yang diterima Lembaga Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta sebanyak 710 orang pada periode Maret sampai November 2020. Dari jumlah itu, sebanyak 225 kasus terbanyak adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Periode 16 Maret sampai 7 Juni 2020, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menerima 90 kasus per bulan.
Sementara Data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Komnas Perempuan, kasus kekerasan terhadap Perempuan meningkat 75 % sejak terjadinya pandemi.
Fakta yang dikumpulkan Simponi dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) periode 21 Januari – 20 November 2020 ada 6.088 kasus kekerasan yang dilaporkan yang melibatkan perempuan.
Data tersebut di atas ditampilkan dalam zoom meeting, Jumat (27 November 2020) yang diselenggarakan Dewan Pers. Zoom meeting yang dimoderatori Helena (BBC Action News) ini menampilkan pembicara terdiri dari : Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati (PPPA), Agung Dharmajaya (Dewan Pers), Dr. Binahayati Rusyidi, MSW (Peneliti Universitas Padjajaran), Nova Eliza (Aktris dan Aktivis Perempuan), Petty S Fatimah (Pemimpin Redaksi Femina), dan Sekretaris Kementerian PPPA, Pribudiarta. Diskusi ini mengusung tema “Pandemi Covid-19 dan Perlindungan Terhadap Perempuan, Bagaimana Peran Pers ?”
Dari semua pembicara, sepakat menyatakan bahwa pandemic covid-19 menjadi penyebab meningkatnya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kebijakan yang harus diterapkan pemerintah dan dampak dari kebijakan itu menimbulkan peluang terjadi tindak kekerasan. Kebijakan seperti social distancing, work from home (WFH), belajar dalam jaringan, dan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) menimbulkan berbagai hal yang menjadi pemicu kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kebijakan-kebijakan itu juga melahirkan dampak negatif seperti pemutusan hubungan kerja (PHK), usaha gulung tikar (terutama yang menjalankan usaha off line).
Bulan pertama WFH, kekerasan paling tinggi adalah KDRT. Bulan kedua trennya kekerasan berbasis dalam jaringan (daring). Setelah KDRT, kekerasan berbasis gender online (KBGO) menyusul di peringkat kedua.