
ilustrasi salah satu kegiatan budaya di Mandar
Sebagai salah satu kerajaan di Mandar yang memiliki pengaruh besar, Kerajaan Balanipa tentu mempunyai wilayah kekuasaan yang luas. Luas wilayah Kerajaan Balanipa kira-kira seluas Kabupaten Polewali Mandar dan sebagian Kabupaten Mamasa pada saat ini.

Ilma Amelia
Dalam buku Muhammad Amir yang berjudul Perjuangan Hammad Saleh Menentang Jepang dan Belanda di Mandar 1942-1947 disebutkan bahwa wilayah kekuasaan Kerajaan Balanipa pada umumnya dapat dibedakan atas daerah inti kerajaan dan wilayah di luar daerah inti kerajaan.
Daerah inti kerajaan terdiri atas Appeq Banua Kaiyyang (empat negeri besar), Annang Banua Manassa (enam negeri otonom), dan daerah khusus atau pusat kerajaan. Sementara wilayah di luar daerah inti terdiri atas tiga negeri atau kerajaan otonom (Tallu Bocco), dan tiga derah otonom (Tallumbanua), serta delapan daerah taklukan (Paliliq Arua).
Daerah inti Kerajaan Balanipa tersebut adalah Appeq Banua Kaiyyang (empat negeri besar) terdiri atas Banua Kaiyyang Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-Todang. Banua Kaiyyang Napo dipimpin oleh seorang pappuangan (pemimpin kaum ada’) yang bergelar Pappuangan Napo yang biasa juga disebut Pappuangan Saleko. Ia juga sebagai ketua dari ikatan atau persekutuan Appeq Banua Kaiyyang yang berkedudukan di Napo sebelum persekutuan itu membentuk satu kesatuan pemerintahan yang kemudian dikenal dengan Kerajaan Balanipa.
Banua Kaiyyang Samasundu dipimpin oleh seorang pappuangan (pemimpin kaum ada’) yang bergelar Pappuangan Samasundu atau biasa juga disebut dengan Pappuangan Garongkong dan dibantu oleh seorang wakil yang bergelar Pappuangan Pangale.
Banua Kaiyyang Mosso dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Mosso, dan ia dibantu oleh seorang tomabubeng dan andongguru joaq (pemimpin pasukan) dalam penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari.
Banua Kaiyyang Todang-Todang dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Todang-Todang. Dalam penyelenggaran pemerintahan sehari-hari, ia dibantu oleh seorang pappuangan, tomabubeng, andongguru joaq (pemimpin pasukan), dan imang (imam) untuk urusan agama Islam.
Annang Banua Manassa (enam negeri otonom) terdiri atas Banua Limboro, Biring Lembang, Lambeq, Lakka, Luyo, dan Tenggelang. Keenam banua itu berdiri sendiri dalam mengatur dan mengangkat pemangku adat untuk mengurus rumah tangganya masing-masing. Pemangku adat pada masing-masing banua itu bergelar dan terdiri atas: (1) Banua Limboro dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Limboro dan biasa juga disebut dan disapa Puang Limboro. (2) Banua Biring Lembang dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Biring Lembang atau biasa juga disebut dengan Pappuangan Tammangalle, dan disapa dengan Puang Lembang atau Puang Tammangalle. (3) Banua Lambeq dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Lambeq. (4) Banua Lakka dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Lakka. (5) Banua Luyo dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Luyo, dan (6) Banua Tenggelang yang dipimpin oleh seorang pappuangan yang bergelar Pappuangan Tenggelang.
Daerah khusus atau pusat kerajaan merupakan perkampungan-perkampungan yang didiami oleh Mara’dia Balanipa (termasuk Mara’dia Matoa dan Mara’dia Malolo) dan keturunannya bersama pengikut-pengikutnya dan daerah khusus ini berada di bawah kekuasaan langsung Mara’dia Balanipa.
Sementara itu, wilayah yang dinyatakan berada di luar daerah inti Kerajaan Balanipa adalah Tallu Banua Bocco (tiga negeri atau kerajaan otonom) terdiri atas Kerajaan Alu, Taramanuq dan Tuqbi. Ketiga banua (negeri) yang terletak di bagian utara wilayah inti Balanipa merupakan negeri-negeri yang menjadi bagian atau bergabung setelah terbentuknya Kerajaan Balanipa melalui perjanjian persaudaraan atau ikatan persatuan.
Tallumbanua (tiga banua atau negeri sekerabat) terdiri atas Banua Campalagian atau Tomadio, Banua Mapilli, dan Banua Tapango atau Nepo. Ketiga banua yang terletak di sebelah timur wilayah inti Kerajaan Balanipa tersebut pada awalnya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Passokkorang. Setelah kerajaan itu ditaklukkan oleh Kerajaan Balanipa, banua-banua itu kemudian dijadikan sebagai daerah palili (taklukan) Balanipa. Ketiga banua itu juga berdiri sendiri dan mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, kecuali dalam hal pertahanan dan keamanan bersama yang merupakan kewenangan pemerintahan pusat kerajaan.
Arua Banua Palili (delapan negeri taklukan) terdiri atas appeq banua di buttu (empat daerah di pegunungan atau dataran tinggi) dan appeq banua di lappar (empat daerah di dataran rendah). Pada awalnya daerah-daerah ini juga merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Passokkorang, dan setelah kerajaan tersebut ditaklukkan oleh Kerajaan Balanipa, daerah-daerah itu kemudian dijadikan sebagai daerah palili Kerajaan Balanipa. Keempat daerah taklukan di pegunungan itu terdiri atas Sabura (dipimpin oleh arruang dan dibantu oleh seorang paqbicara), Daala (dipimpin oleh mara’dia dan dibantu oleh seorang pappuangan dan paqbicara), Lenggo (dipimpin oleh maraqdia dan dibantu oleh pappuangan dan paqbicara), dan Batu (dipimpin oleh arruang dan dibantu oleh pappuangan). Sementara itu, keempat daerah taklukan di dataran rendah yaitu Rea, Bungin, Belua (Paku), dan Tabone dipimpin oleh tomakaka dan dibantu oleh seorang tomabubeng.
Selain dari kedelapan daerah palili itu, juga masih terdapat sejumlah banua kecil yang merupakan daerah palili. Banua-banua itu antara lain limambanua (lima daerah) dan suro tama di Ulu Salu (utusan khusus ke Hulu Sungai). Limambanua terdiri atas Poda-Poda, Lulung, dan Bulewang (masing-masing daerah ini dipimpin oleh maraqdia dan dibantu oleh seorang paqbicara dan tomabubeng), serta Pumbeyagi dan Limboro yang masing-masing dipimpin oleh pappuangan dan dibantu oleh seorang tomabubeng. Sedangkan suro tama di Ulu Salu terdiri atas daerah Padang, Talepo, dan Sappoang, yang masing-masing dipimpin oleh seorang pappuangan, serta Tapua dipimpin oleh seorang tomakaka.
Pembagian wilayah kekuasaan itu didasarkan atas kesepakatan bersama antara I Manyambungi (calon mara’dia) dengan Puang Dipoyosang (penghulu parriqba adaq) dalam proses pembentukan Kerajaan Balanipa yang berbunyi “ O kaiyyang tammacinna di kende-kendeq, o kende-kendeq tammacinna di kaiyyang” (yang besar tidak menginginkan yang kecil, dan yang kecil tidak menginginkan yang besar). Maksudnya, keturunan maraqdia tidak akan merampas hak jabatan untuk keturunan pemangku adat, demikian pula sebaliknya pemangku adat tidak akan merampas hak jabatan untuk keturunan maraqdia.
Hal tersebut mencerminkan sikap saling menghormati dan menghargai antar pejabat pemerintahan di Kerajaan Balanipa. Hal itu pulalah yang menjadikan Kerajaan Balanipa sebagai kerajaan yang disegani di antara raja-raja di Mandar.(*)