Ilustrasi anak melihat sesuatu di ponselnya. (Sumber foto: AI)
Polewali Mandar, mandarnews.com –
Berdasarkan data dari Global Platform for Child Exploitation Policy, laporan tentang pornografi anak di Indonesia mencapai angka 1,2 juta sepanjang tahun 2024.
Dikutip dari situs globalchildexploitation.org,
termasuk di dalamnya adalah pelecehan seksual anak, pariwisata seksual anak, perdagangan seks anak, nama domain yang menyesatkan, kata-kata/gambar yang menyesatkan, rayuan online, dan materi cabul yang tidak diminta.
Adapun platform yang merupakan pelapor teratas terkait pornografi anak yaitu Facebook (640.000), Tik Tok Inc (200.000), WhatsApp Inc (170.000), Google (98.000), Instagram Inc (89.000), X (25.000), Imgur LLC (4.800), Pinterest Inc (1.700), Snapchat (1.600), dan Discord Inc (1.100).
Alhasil, angka yang mencengangkan tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara keempat di dunia dalam laporan kasus pornografi anak terbanyak. Lantas, bagaimana dengan Kabupaten Polewali Mandar sendiri?
Menurut Direktur Woman Child Crisis Center Sulawesi Barat, Mimit Parkasi, kasus pornografi anak sudah banyak di Polewali Mandar.
“Tapi, yang terlapor itu hanya beberapa saja disebabkan adanya keengganan korban atau keluarga korban untuk tidak ter-up,” ujar Mimit lewat WhatsApp, Senin (8/12/2025).
Mimit menyampaikan, yang banyak ditemukan itu kasus video. Tapi, kasus-kasus tersebut agak kesulitan untuk dipilah karena beberapa kasus kekerasan seksual dimulai dengan aksi pornografi.
“Jadi, untuk data real-nya tidak ada,” kata Mimit.
Ia menerangkan, pornografi anak berdampak terhadap fisik dan psikis korban, terutama psikis.
“Perkembangan kognitif dan emosional anak yang paling berdampak,” sebut Mimit.
Senada dengan Mimit, aktivis anak, Dwi Bintang Fajar, juga menguraikan kalau dampak negatif pornografi anak terhadap anak sebagai korban sangat luas, mendalam, dan seringkali berlangsung seumur hidup.
“Korban bisa mengalami trauma berat, perasaan malu dan bersalah, gangguan kesehatan mental, gangguan citra diri, bahkan isolasi sosial,” ucap Dwi melalui aplikasi pesan.
Selain itu, tambah Dwi, korban pun dapat mengalami kesulitan belajar, perilaku berisiko, disorientasi seksual, kesulitan membangun hubungan, rentan menjadi korban kekerasan atau eksploitasi di masa dewasa, kesulitan mengasuh anak karena trauma masa lalu, dan reaksi emosional yang intens.
“Mengingat dampak yang parah ini, penanganan yang komprehensif meliputi medis, psikologis, dan sosial sangat penting untuk mendukung pemulihan anak sebagai korban,” tutur Dwi.
Untuk menjaga agar anak-anak tidak menjadi korban, Dwi mengemukakan, hal yang harus dilakukan oleh orang tua adalah membangun pertahanan diri anak melalui edukasi dengan cara berikan pendidikan seksual yang sesuai usia, ajarkan nama-nama yang benar untuk organ vital sejak dini, jelaskan konsep area pribadi, ajarkan konsep rahasia baik dan rahasia buruk, jelaskan bahaya konten pornografi, dan ajarkan etika serta jejak digital.
“Disamping itu, hubungan dan komunikasi keluarga harus diperkuat dengan menjaga hubungan yang hangat dan terbuka, komunikasi terbuka tanpa menghakimi, waktu berkualitas, menjadi contoh yang baik, mengawasi dan membatasi akses digital, dan peka terhadap perubahan perilaku anak,” tutup Dwi. (ilm)
