JAKARTA– Aliansi Jurnalis Independen (AJI) berharap pemerintah mengawal perjalanan revisi Undang-Undang No.32/2002 tentang Penyiaran sehingga menghasilkan regulasi yang lebih baik dan berpihak pada masyarakat.
Ketua Umum AJI, Suwarjono, menyiratkan rasa pesimistis karena pembuatan RUU Penyiaran oleh DPR saat ini tak melibatkan organisasi masyarakat sipil atau jaringan yang kerap mengkritisi masalah penyiaran di Indonesia. Bahkan cenderung dilakukan secara tertutup. “Kami khawatir, jika Undang-Undang Penyiaran yang ada nantinya justru bertambah buruk,” ungkapnya.
Beberapa persoalan dalam RUU Penyiaran menjadi catatan pengurus Divisi Penyiaran AJI Indonesia yang menyampaikannya dalam pertemuan dengan Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo, di Bina Graha, Selasa, 6 Desember 2016. “Rancangan itu meniadakan lembaga penyiaran komunitas, dan menggantinya dengan lembaga penyiaran khusus. Ini jadi bias, karena nanti bisa diisi oleh kepentingan politik,” kata Bayu Wardhana.
AJI berpendapat, draft RUU Penyiaran yang sedang disusun DPR, justru melanggar prinsip-prinsip universal dari dunia penyiaran, yaitu diversity of ownership and diversity of content atau keberagaman kepemilikan dan isi. Misalnya sistem siaran berjaringan, dalam UU Penyiaran no 32/2002 yang berlaku sekarang adalah wajib, maka justru dalam draft RUU Penyiaran yang sekarang hanya sebuah pilihan. Bila sekarang, stasiun televisi yang berada di Jakarta, hendak bersiaran di propinsi lain, maka mereka harus bekerjasama dengan televisi lokal, sehingga ada keberagaman kepemilikan. Namun dalam draft RUU Penyiaran yang baru, kewajiban Sistem Siaran Berjaringan kini diubah dengan pilihan lain membuka perwakilan di daerah. “Ini tentu akan memperkuat konglomerasi media. Terlebih di RUU ini, pasal-pasal Pembatasan Kepemilikan Media, yang sudah ada di UU Penyiaran 32/2002, tiba-tiba dihilangkan tanpa alasan yang jelas,” kata Bayu.
Pengurus Divisi Penyiaran lainnya, Revolusi Riza Zulverdi menyoroti ketertinggalan Indonesia yang tak segera mengikuti perkembangan teknologi televisi. “Dengan tak kunjung bermigrasi siaran digital, kita menjadi salah satu negara tertinggal di Asia,” tegasnya. Padahal, dengan menerapkan siaran digital, dunia televisi Indonesia akan lebih banyak memiliki alternatif, selain kualitas siaran lebih bagus. “Siaran televisi pun tak melulu berisi berita yang bernuansa Jakarta sentris,” kata Revo. Selain itu, kue ekonomi iklan televisi bisa lebih tersebar ke daerah-daerah. Turut hadir pengurus serta staf AJI Indonesia lainnya yakni Agus Rakasiwi, Joni Aswira, Febrianti Galuh, dan Putri Adenia.
Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan Eko Sulistyo menyatakan, Presiden Joko Widodo sempat menyoroti monopoli industri televisi yang kepemilikannya dikuasai kelompok-kelompok tertentu. “Kita sepakat, jangan sampai Undang-Undang Penyiaran dibuat berdasarkan semangat pemodal,” tekannya.
Eko pun menggarisbawahi visi Nawacita pemerintahan Presiden Jokowi yang mengutamakan pemerataan kemakmuran tak hanya di Pulau Jawa, terutama dengan mengedepankan konsep ‘Indonesia sentris’. Salah satu perwujudan konsep itu yakni pembangunan infrastruktur yang dikebut di berbagai daerah di nusantara. “Pemerintah pun berkepentingan agar pertumbuhan pembangunan di daerah bisa terpantau masyarakat luas,” urainya. Salah satu caranya, yakni persebaran informasi tak hanya berpusat pada isu-isu Jakarta, tapi berdasarkan perkembangan di seluruh tanah air.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Wandy Tuturoong menegaskan pentingnya menggalang dukungan publik untuk menggulirkan isu lahirnya Undang-Undang Penyiaran lebih berkualitas. “Dan memang, kita harus membangun ruang publik yang sehat lewat Undang-Undang Penyiaran yang baru,” kata Wandy.
Pada kesempatan ini, Ketua Umum AJI juga menyerahkan kartu pos kepada Presiden Jokowi yang ditandatangani masyarakat dari berbagai daerah. Surat bertajuk ‘Menagih Janji Nawacita’ itu meminta agar Presiden Jokowi menginstruksikan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika untuk sungguh-sungguh mengawal pembahasan RUU Penyiaran dan RUU Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) bersama dengan DPR RI.
“Kami berharap UU Penyiaran membatasi kepemilikan TV Swasta dan mengatur isi siaran yang bermutu, lepas dari kepentingan politik pemilik televisi swasta,” kata Suwarjono, membacakan salah satu butir surat kepada Presiden itu.
Sumber : aji.or.id