
Kepala Bapenda Polewali Mandar, Alimuddin.
Polewali Mandar, mandarnews.com – Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Polewali Mandar menilai dampak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) bagi masyarakat cukup adil.
“Karena, yang memiliki nilai jual properti yang mahal akan membayar pajak yang lebih besar. Begitu juga dengan masyarakat yang memiliki nilai properti yang kecil, dampak kenaikannya juga akan kecil,” ujar Kepala Bapenda Polewali Mandar, Alimuddin, saat ditemui di ruangannya, Jumat (29/8/2025).
Alimuddin menyampaikan, kenaikan PBB-P2 di Polewali Mandar didasari oleh dua hal. Pertama, di Pasal 6 Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2024 disebutkan bahwa setiap tiga tahun sekali harus ada evaluasi penetapan pajak, kecuali untuk pajak tertentu yang harus ditetapkan setiap tahun.
“Yang tiga tahun ini adalah penyesuaian NJOP dan yang setiap tahun adalah perluasan tanah, objek, atau bangunan,” kata Alimuddin.
Kedua, ada rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2021. Sehingga, Bupati Polewali Mandar menginstruksikan kepada Bapenda untuk menyusun penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan melakukan penyesuaian NJOP kepada setiap wajib pajak secara bertahap.
“Terakhir kan tahun 2022, jadi sekarang tahun 2025 dilakukan lagi penyesuaian,” sebut Alimuddin.
Dirinya menerangkan, kenaikan PBB-P2 sendiri bukan dihitung dalam persen karena yang dinaikkan adalah kelas NJOP bumi.
Kelas bumi yang paling rendah di Polewali Mandar adalah 92 dengan NJOP Rp1.700,- per meter, yang paling tinggi adalah kelas 60 dengan NJOP Rp1.722.000,-.
Karena penyesuaian yang dilakukan adalah menaikkan kelas NJOP bumi satu tingkat dari sebelumnya, maka kelas 92 menjadi 91 dan kelas 60 menjadi 59.
“Rumus perhitungan PBB-P2 adalah NJOP dikali luasan dikali tarif. Tiga komponen inilah yang terlibat dalam penghitungan PBB,” ucap Alimuddin.
Tarif ini sendiri pun tidak berubah dari tahun-tahun sebelumnya, tetap 0,1. Adapun PBB yang melonjak drastis itu dipengaruhi oleh luas lahan dan NJOP bangunan yang berdiri di atas lahan yang dimaksud.
Dalam pemutakhiran data yang dilakukan tahun lalu, didapati 2000 objek yang perubahan nilai propertinya besar.
“Misalnya, sebelumnya yang dihitung adalah NJOP bumi, lalu dibuatlah bangunan di lahan itu tapi baru terdata tahun lalu, sehingga pajaknya melompat lebih tinggi sebab ditambah dengan NJOP bangunan,” tutur Alimuddin.
Tidak ada perubahan dalam NJOP bangunan, tambah Alimuddin, hanya berpengaruh banyak pada bangunan yang baru didata.
Jika bangunannya baru masuk pendataan, kenaikan PBB-nya bisa mencapai 500%. Kalau hanya buminya saja, kenaikan PBB-nya hanya 14%, paling tinggi 30%. Sebab itu, harus dilihat faktor apa yang membuat kenaikan PBB sangat mencolok.
Dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), ada pengurangan sebesar Rp10 juta yang dihitung sebagai Nilai Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
Di dalam regulasi Polewali Mandar, ketika NJOP penghitungan PBB-P2 nilainya di bawah Rp1 miliar, tarifnya 0,1. Ketika nilainya di atas Rp1 miliar, tarifnya 0,2.
“Makanya, ketika kelas NJOP bumi yang sudah naik satu tingkat dikali dengan luas lahan, hasilnya di atas Rp1 miliar sehingga dikali tarif 0,2. Kalau tarifnya dikalikan 0,2, maka kenaikan PBB-nya mencapai 100%,” tukas Alimuddin.
Sehingga, dapat disimpulkan kalau kenaikan PBB yang drastis itu disebabkan oleh adanya bangunan baru di lahan yang dimaksud dan NJOP penghitungan PBB yang nilainya di atas Rp1 miliar sehingga dikali 0,2.
Adapun nilai yang di atas Rp1 miliar dikali 0,2 dan di bawah Rp1 miliar dikali 0,1 ini ketentuannya sudah dari dulu.
“Ada 242.000 SPPT Polewali Mandar yang mengalami kenaikan satu kelas. Di dalam keputusan Bupati yang dulu, ada ketentuan bahwa PBB Pajak Terutang minimal adalah Rp15 ribu sehingga walaupun perhitungan PBB-nya hanya Rp3 ribu misalnya, tetap yang dibayar adalah Rp15 ribu,” beber Alimuddin.
Dari semua SPPT tersebut, lanjut Alimuddin, 129.000 di antaranya atau 53,25% dari total berada di batas minimal Rp15 ribu. Bisa dikatakan bahwa yang terdampak besar dari kenaikan kelas ini adalah yang memiliki nilai properti yang besar.
Alimuddin mengemukakan, jika dibandingkan dengan daerah lain yang kenaikan tingkatnya bisa sampai tiga kelas atau tarifnya yang sampai 0,3, Polewali Mandar ini kenaikannya masih di bawah.
“Kenaikan NJOP ditetapkan pada tanggal 17 Februari 2025. Jika tidak dilakukan tahun ini, berarti Bapenda menyimpang dari Perda dan rekomendasi BPK. Kita paham dengan kondisi, tapi kita berada pada situasi harus mengikuti regulasi dan rekomendasi BPK,” ungkap Alimuddin.
Walaupun begitu, menurut Alimuddin, Pemkab Polewali Mandar mengambil opsi yang paling minim, yaitu tidak mengubah tarif dan menaikkan satu kelas.
Alimuddin menjelaskan, sebenarnya ada poin dalam kenaikan PBB ini yang menerapkan prinsip keadilan.
Berdasarkan fakta di Kecamatan Tapango, suatu lahan seluas 10.000 meter memiliki nilai NJOP Rp.5 ribu per meter. Karena itu, standar nilai jual lahan itu adalah Rp50 juta, tapi transaksi pembeliannya hanya Rp20 juta.
“Artinya, sisi masyarakat sebagai pemilik lahan sebenarnya dirugikan karena nilai seharusnya lahan tersebut adalah Rp50 juta. Contoh lain, standar harga pasar untuk satu meter tanah di Bumimulyo adalah Rp150 ribu, tapi di SPPT-nya hanya Rp36 ribu. Jika ada transaksi, bisa saja yang dijadikan acuan adalah NJOP-nya, alhasil yang dirugikan adalah masyarakat. Idealnya, penilaian NJOP ini adalah kesesuaian dengan harga pasar,” imbuh Alimuddin.
Sedangkan untuk bangunan, penghitungan luasannya lebih rumit dibandingkan bumi yang hanya panjang kali lebar, seperti struktur bangunan seperti apa, di dalamnya menggunakan pendingin udara atau tidak, terbuat dari kayu atau batu, lantainya bagaimana, bangunan baru atau sudah lama.
Semakin besar dan rumit bangunan, nilai jualnya tentu akan makin tinggi, begitu juga dengan NJOP bangunan. Meskipun begitu, Alimuddin merasa banyak objek bumi dan bangunan yang belum masuk dalam pendataan.
“Seperti juga gudang yang terletak di Jalan Kartini, pajak sebelumnya Rp600 ribu, sekarang mencapai Rp7 juta karena ada penambahan bangunan. Akan tidak adil kalau pajaknya tidak disesuaikan karena bangunannya besar yang akan berimbas juga pada naiknya omzet,” tandas Alimuddin.
Jika dilihat pada kenaikan NJOP, kenaikan paling tinggi 44% dan paling rendah 8%. Namun, tentu saja hasilnya akan berbeda karena NJOP dikali lagi dengan luas ditambah lagi dengan komponen bangunan yang harus dimasukkan.
Alimuddin pun mengaku sulit menghadapi pertanyaan soal persentase kenaikan pajak di awal karena harus diurai dulu, apakah semata-mata karena kenaikan NJOP atau ada inputan baru, karena ditemukan juga dalam pemutakhiran objek pajak luasnya bertambah.
“Di pemutakhiran kemarin juga ditemukan penghapusan, pengurangan karena satu objek dibagi banyak, misalnya tanah warisan,” tutup Alimuddin. (ilm)