Jakarta, mandarnews.com – Tiga organisasi profesi wartawan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) akan mengkaji ulang Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati setiap 9 Februari.
“Pro dan kontra terhadap HPN ini harus segera diselesaikan,” kata Suwarjono, Ketua AJI Indonesia dalam sambutan Seminar Mengkaji Ulang Hari Pers Nasional di Hall Dewan Pers, Jakarta, Kamis 16 Februari 2017 kemarin.
Peringatan HPN selama ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985. Penentuan ini dikritik karena penetapan hari pers nasional hanya berdasar HUT PWI, 9 Februari. Suwarjono menekankan kajian penentuan kembali HPN dari sudut pandang sejarah, dan ideologis melibatkan sejarawan, peneliti sejarah pers pergerakan dan tokoh pers diharapkan dapat menjadi solusi agar HPN dapat diperingati bersama.
“Duduk bersama bertukar pikiran, menjadi langkah awal mencari model, format, dan hari yang tepat untuk HPN,” katanya.
Kajian ulang tentang HPN juga ditanggapi Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana. Menurutnya, wacana perubahan HPN dalam seminar ini akan menjadi tonggak baru sejarah Indonesia. “Kita ingin buat kesepakatan bersama untuk komitmen bergerak bersama, perbaikan konten dan ingin pers yang lebih baik,” katanya.
Selain itu, Yadi mengingatkan organisasi-organisasi jurnalis yang menjadi konstituen Dewan Pers tetap menjaga kebebasan pers, menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi. Dalam sejumlah regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang sarat membatasi pers, organisasi pers harus bergerak bersama untuk mengawasi hal ini. “AJI, IJTI, PWI mesti jalan bersama karena saat ini banyak yang ingin merongrong pers,” katanya.
Ketua PWI Margiono yang hadir dalam diskusi ini juga menyampaikan tak mempersoalkan pengubahan tanggal HPN. Menurutnya yang paling mendasar dari peringatan HPN adalah kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pers.
“9 Februari cocok atau tidak untuk hari pers, itu tidak terlalu penting (bagi saya, red). Saya terbuka untuk dikaji ulang asal ada dasar kajian yang kuat. Bukan debat kusir,” katanya. Ia menekankan perubahan hari pers harus jadi milik bersama dan dapat memperbesar gaung HPN. “Itu yang harus diutamakan,” kata Margiono dalam sambutannya.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mendukung inisiatif bersama ketiga organisasi ini. Ia mengatakan peluang mengubah HPN sangat besar. Sebab, dasar hukum dari Keppres No. 5 Tahun 1985 tentang penetapan Hari Pers Nasional sudah tidak berlaku lagi.
“Yang bisa mengubah adalah forum ini. Karena konsideran Keppres ini yaitu Undang Undang No. 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sudah tidak berlaku lagi,” kata Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo.
Yosep berjanji akan mengawal usulan-usulan yang muncul dari seminar ini ke Sekretariat Negara dan Presiden Jokowi. Meski ia mengingatkan membutuhkan proses. “Perlu bersama mencari moment of truth, meski hasilnya tidak dalam jangka dekat,” katanya
Sejumlah rekomendasi tanggal muncul dari ketiga pembicara seminar yaitu Asvi Warman Adam (LIPI), Atmakusumah (Tokoh Pers), Muhidin M. Dahlan (Peneliti Sejarah Pers. Di antaranya tanggal 1 Januari, mengambil momentum lahirnya penerbitan pertama milik pribumi yang mengusung semangat kebangsaan dan nasionalisme, Medan Priyai pada 1907 dan 7 Desember bertepatan dengan wafatnya tokoh pers nasional Tirto Adhi Soerjo yang wafat tahun 1918.
Atmakusumah menekankan tidak hanya tanggal yang penting mendapatkan perhatian. Proses pelaksaan juga memperhatikan semangat kebersamaan. “Peringatan HPN idealnya biayai perusahaan-perusahaan pers, tidak menggunakan dana negara,” katanya.
Moderator diskusi Iman D. Nugroho menyampaikan tim perumus akan memperhatikan rekomendasi, landasan historis dan ideologis yang muncul dari usulan-usulan yang muncul dalam forum seminar. Serta akan menyampaikan rekomendasi itu ke Dewan Pers agar ditindaklanjuti. (Siaran Pers AJI Indonesia)