Aksi Akhir Tahun. Sejumlah anggota AJI Kota Makassar menggelar aksi akhir tahun di Fly Over, Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu 27 Desember 2017. Foto : Ist.
Majene, mandarnews.com – Jelang pilkada serentak tahun 2018. Jurnalis dituntut untuk bersikap independen dan tetap mengedepakan etika dalam menjalankan profesinya. Ada kekhawatiran jurnalis ikut terlibat atau melibatkan diri dalam praktik dukung-mendukung salah satu peserta pilkada.
Untuk itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar mengajak kepada jurnalis tetap menjaga independensinya, serta tidak berpihak kepada salah satu peserta pilkada dengan tidak menjadi tim sukses atau joki politik.
“Menjadi joki politik atau juru kampanye calon sama halnya mencederai profesi jurnalis. Jurnalis itu harus independen, jurnalis bukan jurkam!,” kata Ketua AJI Makassar, Qodriansyah Agam Sofyan, Rabu 27 Desember 2017.
Tahun 2017, sejumlah temuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar tentang keterlibatan jurnalis sebagai juru kampanye.
“Memang jurnalis yang terlibat ini tidak terdaftar dalam struktur resmi, tetapi terlibat dalam agenda sosialisasi,” ungkap Agam.
Lebih lanjut, aksi kampanye jurnalis di Kota Makassar ini menyerukan kepada seluruh jurnalis dan media agar tidak menjadi partisan atau terlibat dalam tim sukses pasangan calon peserta pilkada. Momentum pilkada serentak 2018 mendatang menjadi ujian independensi jurnalis.
“Momen perebutan kekuasaan tahun 2018, rawan terjadi ‘perselingkuhan’ antar media, jurnalis dengan pasangan peserta pilkada. Hal ini bisa berdampak kerugian bagi masyarakat. Masyarakat ingin mendapatkan informasi yang benar dari jurnalis dan media,” ujarnya.
Menurut Agam, jika seorang jurnalis ingin berpolitik praktis ikut kampaye dalam Pilkada serentak tahun 2018, ada baiknya mengundurkan diri sebagai jurnalis.
“Jika jurnalis terlibat dalam juru kampanye dan tetap menjalankan tugas sebagai jurnalis. Berita yang disajikan bisa dinilai memihak, tidak netral dan merugikan pihak lain. Jurnalis harus bebas dari kepentingan,” katanya.
Jurnalis, kata Agam, ada UU No. 40/1999 yang memberikan payung hukum serta kaidah dan etika jurnalis yang melarang jurnalis untuk menerima suap atau adanya intervensi kepentingan politik yang berdampak pada proses pembuatan berita. Jurnalis sudah seharusnya hal ini dijunjung tinggi, bukan sebaliknya mengesampingkan hal itu, dengan menjadi joki politik atau juru kampanye poltik bagi calon peserta pilkada.
Tak hanya itu, dalam Kode Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia yang ditetapkan dalam Kongres X di Solo tahun 2017 disebutkan, poin (7) Jurnalis menolak segela bentuk campur tangan pihak manapun yang menghambat kebebasan pers dan independensi ruang berita, (8) Jurnalis menghindari konflik kepentingan dan (9) Jurnalis menolak segala bentuk suap.
Dalam prakteknya, perusahaan media juga wajib mematuhi etika jurnalistik dan bersikap profesional dalam menjalankan bisnisnya. Tuntutan terhadap perusahaan media untuk menghasilkan keuntungan tidak boleh mengorbankan independensi dan profesionalisme. Jurnalisme, yang menjadi sektor utama bisnis ini memiliki prinsip lain yang harus dijaga, yaitu melayani kebutuhan informasi publik.
Profesionalisme dan Keselamatan Jurnalis
Keamanan jurnalis dalam melakukan peliputan sangat penting. Diharapkan jurnalis harus mempersiapkan diri menghindari resiko tindakan kekerasan di lapangan.
Koordinator Divisi Advokasi AJI Makassar Mustafa Layong menegaskan, tindak kekerasan sebagian besar disebabkan jurnalis tidak bisa menempatkan diri ketika terjadi konflik serta isu sensitif, seperti SARA, pilkada, serta ideologi. Apalagi saat ini adalah momen menjelang pilkada serentak. Karena itu, penting bagi jurnalis untuk mempersiapkan diri.
“Tahun 2018, akan ada pilkada serentak dan bisa berpotensi terjadi gesekan. Kalau tidak profesional dalam melakukan peliputan, bisa terjadi kekerasan atau penyerangan massa. Seperti yang pernah terjadi pada pilkada di Palopo dan Makassar,” tutur Mustafa.
Menurut Mustafa, sejumlah kekerasan terhadap jurnalis di Sulawesi Selatan tahun 2016 – 2017 cukup banyak. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga perampasan dan perusakan alat kerja.
Dalam catatan AJI Makassar, dalam dua tahun terakhir 2016 – 2017 kasus kekerasan jurnalis berjumlah 17 kasus. Tahun 2016 sebanyak 9 kasus dan 2017 sebanyak 8 kasus. Sejumlah kasus hanya sampai tahap pelaporan ke pihak kepolisian dan tidak ada tindaklanjutnya.
Selain itu, sejumlah jurnalis memilih berdamai dengan pelaku karena desakan perusahaan tempat korban bekerja dan kurang mamahami pentingnya perlindungan jurnalis.
Selain itu, AJI Makassar mengajak semua jurnalis dan pekerja media lainnya berserikat. Di Sulawesi Selatan tak satupun perusahaan pers yang memiliki serikat pekerja media.
Koordinator Serikat Pekerja AJI Makassar Muhammad Yunus mengkritisi pertumbuhan media khususnya di Sulawesi Selatan tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan jurnalis. Bahkan pada tahun 2017 terjadi kasus PHK sepihak oleh sejumlah karyawan perusahaan media Koran Sindo. “Banyak jurnalis bekerja tanpa ada kontrak kerja. Sehingga ketika terjadi sengketa ketenagakerjaan, jurnalis sangat lemah dari sisi hukum,” ungkap Yunus.
Yunus mengatakan, sampai saat ini masih banyak jurnalis di Sulawesi Selatan yang menerima gaji di bawah UMK, tidak ada jaminan sosial seperti jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, pensiun dan hari tua sesuai UU Ketenagakerjaan.
“Aturan itu masih belum dipenuhi oleh sejumlah perusahaan media. Tak hanya itu, kami juga menuntut perusahaan media memberikan upah layak untuk jurnalis. Dan meminta Dinas Tenaga Kerja memberlakukan upah sektoral pekerja media,” tuturnya. (Irwan Fals)