Selamat datang di Indonesia, tempat di mana demokrasi yang semula menjadi harapan besar kini berubah menjadi panggung sandiwara. Demokrasi yang seharusnya berarti kekuasaan rakyat, telah tereduksi menjadi slogan kosong di spanduk kampanye, hanya terlihat pada baliho-baliho calon legislatif dan ucapan politisi yang sering terasa lebih seperti satire ketimbang kenyataan.
Jika kita membayangkan demokrasi sebagai tubuh manusia, mungkin kini Indonesia adalah seorang pasien yang telah kehilangan banyak anggota tubuh vitalnya—demokrasi yang telah teramputasi. Kita masih memiliki hak suara, tetapi suaranya mirip dengan berteriak dalam botol : ada gaung, tetapi tidak ada pengaruh nyata.
Kebebasan yang dijanjikan oleh konstitusi, seperti kebebasan berpendapat dan berkumpul, kini lebih mirip seperti paket internet dengan banyak pilihan, tetapi sinyalnya lemah. Setiap kali rakyat mencoba ‘bersuara’, tiba-tiba mikrofonnya diambil, dan mereka disuruh diam.
Demokrasi Formalistik: Menyulap Simbol Menjadi Realitas Palsu
Dalam realitas politik saat ini, kita menyaksikan sebuah demokrasi formalistic, demokrasi yang menyulap symbol menjadi realitas palsu—jenis demokrasi yang hanya bagus di atas kertas. Bendera ramai berkibar, pemilu digelar, debat kandidat disiarkan di televisi, dan janji-janji manis bertebaran. Namun, semua itu seperti pesta besar yang ternyata tidak ada makanannya. Ada pemilih, ada kandidat, ada surat suara, tetapi hasilnya tetap sama : kekuasaan hanya berpindah di antara elit yang sama. Bahkan ketika ada wajah baru, sering kali mereka hanyalah perpanjangan tangan dari kelompok yang lama.
Inilah esensi dari demokrasi formalistik: tampak seperti demokrasi, tetapi tanpa substansi. Partisipasi rakyat direduksi menjadi sekadar formalitas, di mana pengambilan keputusan sebenarnya tetap berada di tangan segelintir elit yang tak tersentuh. Sementara rakyat hanya bisa menjadi penonton dari pinggir lapangan.
Hukum: Dari Alat Keadilan Menjadi Alat Kekuasaan
Hukum, yang seharusnya menjadi landasan keadilan, kini berubah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan. Pedang keadilan yang dulunya tajam dalam menegakkan kebenaran, kini lebih sering digunakan untuk menakut-nakuti mereka yang berani mengkritik pemerintah, atau bahkan membungkam suara-suara yang terlalu lantang.
Realitas ini terlihat dari kriminalisasi terhadap aktivis, pembungkaman media, dan ancaman hukum bagi para kritikus yang tidak sejalan dengan kebijakan penguasa. Fenomena ini semakin meminggirkan rakyat kecil, di mana mereka yang memiliki koneksi tidur nyenyak, sementara mereka yang mencoba menuntut keadilan harus berhadapan dengan ancaman hukum yang tak berimbang.
Media: Dari Anjing Penjaga Menjadi Kucing Peliharaan ……