AMUK saat menggelar aksi di Kantor DPRD Sulbar
Mamuju, mandarnews.com – Aliansi Masyarakat Untuk Kedaulatan (AMUK) Bahari yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyatakan penolakan terhadap tata ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, yang bernama Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) dalam aksi unjuk rasa yang digelar, Selasa (16/7/2019).
Menurut Koordinator Aksi, Suyuti, alasan RZWP3K yang dituangkan pada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2017 harus ditolak karena melegitimasi sekaligus melanggengkan perampasan ruang hidup masyaraka pesisir di Indonesia melalui sejumlah proyek pembangunan.
“Di antaranya reklamasi, pertambangan pasir dan migas, industri pariwisata berbasis utang, konservasi berbasis utang, perkebunan kelapa sawit, dan pembangunan infrastruktur untuk pelabuhan, serta industri maritim,” ujar Suyuti.
Sampai dengan pertengahan tahun 2019, lanjutnya, RZWP3K telah disahkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di 21 provinsi.
“Sejauh ini, pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Peraturan Menteri No.13/PERMEN-KP/2016 aktif mendorong Perda Zonasi tersebut, namun hasilnya ada 13 provinsi lainnya yang masih membahas dan mendiskusikan Rancangan Perda Zonasi ini, baik Perda yang telah disahkan maupun Perda yang tengah dibahas di sejumlah provinsi yang terbukti menciptakan permasalahan bagi masyarakat, yakni dirampasnya ruang hidup untuk masyarakat pesisir,” kata Suyuti.
Ia menjelaskan, hal ini dapat dibaca di dalam Perda Zonasi Provinsi Lampung No.11 Tahun 2018 yang mengalokasikan pemukiman nelayan hanya seluas 1111,66 Ha.
“Tak beda jauh dengan Perda Zonasi Lampung, Perda Zonasi Provinsi Kalimantan Selatan No.113 Tahun 2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Provinsi Kalimantan Selatan hanya mengalokasikan ruang seluas 37 Ha untuk pemukiman yang didiami oleh 97.115 keluarga nelayan,” sebut Suyuti.
Sementara itu, tambahnya, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) dalam Perda Nomor 06 Tahun 2017 tentang RZWP3K tidak dijelaskan secara spesifik tentang pengalokasian pemukiman.
“Perda ini lebih banyak mengakomodir zona yang rentan untuk kepentingan modal, seperti zona bandara yang meliputi seluruh perairan Kalukku, zona fasilitas umum yang meliputi zona pembangunan arteri dari pesisir Kecamatan Tapalang sampai dengan Kecamatan Kalukku (Mamuju), Banggae dan Banggae timur (Majene). Sedangkan dalam paragraf 10 zona fasilitas umum Pasal 23 Ayat 3 telah dikatakan, selama kegiatan pemanfaatan umum kegiatan pemukiman tidak diperbolehkan,” ucap Suyuti.
Berangkat dari berbagai temuan diatas, Suyuti berpendapat, pengaturan ruang di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia melalui Perda RZWP3K tidak berpihak kepada masyarakat, merampas ruang hidup masyarakat pesisir yang telah lama hidup di kawasan tersebut selama berpuluh-puluh tahun.
“Kehadiran Perda RZWP3K seharusnya menguatkan posisi masyarakat pesisir dalam mengelola sumber daya kelautan dan perikanan. Kenyataannya, baik Perda yang telah disahkan maupun yang tengah dibahas, ternyata melemahkan masyarakat bahkan melegalkan perampasan ruang hidup masyarakat,” tutur Suyuti.
Sementara itu, Pimpinan Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Kota Polman, Pardi, saat dikonfirmasi via telepon membeberkan, berpijak pada fakta-fakta yang menjadi seruan aksi, maka AMUK Bahari menuntut pemerintah pusat dan seluruh pemerintah daerah di Indonesia untuk melakukan hal berikut:
1. Menghentikan seluruh pembahasan Rancangan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil hingga seluruh perampasan ruang hidup berupa proyek reklamasi, penambangan pasir dan migas, industri pariwisata berbasis utang, konservasi berbasis utang, perkebunan kelapa sawit,dan penambangan infrastruktur untuk pelabuhan serta industri maritim di dalam Perda tersebut dikeluarkan.
2. Mengevaluasi seluruh Perda Zonasi yang telah disahkan di 21 Provinsi dan membatalkan seluruhnya karena di dalamnya banyak pasal yang melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat pesisir.
3. Meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk menghentikan rencana zonasi, baik yang sudah ditetapkan maupun dalam proses penyusunan yang memuat proyek esktraktif dan eksploitatif yang dapat menyebabkan masyarakat bahari kehilangan ruang hidupnya
4. Meminta kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk tidak menerbitkan sekaligus mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil yang menyebabkan terampasnya ruang hidup masyarakat bahari.
5. Menggunakan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2010 di dalam menata ruang di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Putusan ini telah memberikan rambu-rambu penting dalam menata tataruang kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama. Bersihkan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari seluruh proyek yang bersifat ekstraktif dan ekspolitatif. Menjalankan mandat UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, dengan cara menyediakan skema perlindungan dan pemberdayaan dalam aturan turunannya, baik Peraturan dan atau Keputusan Presiden, Peraturan dan atau Keputusan Menteri, sampai dengan Peraturan Daerah.
6. Memberikan pengakuan politik kepada perempuan nelayan atas jasa dan kontribusi mereka dalam perekonomian keluarga nelayan di Indonesia.
“Tuntutan ini kami sampaikan kepada Pemerintah Pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, beserta Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla, Kementerian Kelautan dan Perikanan, sekaligus kepada seluruh Gubernur di 34 provinsi di seluruh Indonesia untuk membatalkan Ranperda Zonasi yang masih dibahas serta mengevaluasi seluruh Perda Zonasi yang telah disahkan,” tukas Pardi.
Aksi yang digelar di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulbar oleh AMUK Bahari tersebut merupakan seruan bersama, baik itu dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta,Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bina Desa, Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonsia (PPNI), Komunitas Nelayan Tradisional Dadap, Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke, Forum Peduli Pulau Pari (FP3), Forest Watch Indonesia (FWI), Solidaritas Perempuan Jabodetabek, Indonesia Center for Environmental Law (CEL), Indonesia Human Right Commision for Social Justice (IHCS), Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Paguyuban Nelayan Bayah, Gerak Lawan, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FKNSDA) dan LBH-Rakyat Banten. (Hapri Nelpan)
Editor: Ilma Amelia