Ketua AJI Indonesia periode 2017-2020, Abdul Manan dan Revolusi Riza. Foto : Irwan Fals.
Mandarnews.com – Pertumbuhan besar dalam jumlah pengguna internet menjadi pendorong utama trend digitalisasi di Indonesia. Dengan jumlah pengguna yang terus bertambah, Indonesia berada di peringkat enam dunia.
Pada tahun 2013 jumlah pengguna internet Indonesia 72,8 juta; 2014 (83,7 juta); 2015 (93,4 juta); 2016 (102,8 juta); dan 2017 ditaksir 112,6 juta. Jumlah pengguna media sosialnya juga mencapai 40 persen dari pengguna internet.
Digitalisasi ini juga memicu perubahan pola konsumsi media dan juga menjadi pemantik kelahiran media-media online di tanah air. Faktor ini pula yang dinilai menjadi penyebab bergugurannya media massa yang berplatform cetak pada kurun waktu tiga tahun belakangan ini.
Selain itu, perubahan pola konsumsi juga menjadikan platform digital menjadi kian menarik perhatian para agensi dan pemasang iklan. Dampaknya, jumlah iklan di media pun mulai bergeser, dalam jumlah cukup besar, ke digital.
Sejumlah perubahan tersebut secara perlahan mempengaruhi model bisnis media. Menguatnya digitaliasi tak hanya menjadi alasan bagi lahirnya sejumlah media online, tapi juga memicu korporasi media yang sudah ada saat ini untuk lebih serius menangani platform digitalnya.
Langkah ini, harapannya, bisa mendapatkan limpahan kue dari iklan digital yang terus bertambah. Kombinasi sejumlah faktor ini yang juga dianggap sebagai penyebab utama bergugurannya sejumlah perusahaan media pada tahun 2016, yang kemudian diikuti dengan pemutusan hubungan kerja.
‘Kue’ iklan di media digital memang menunjukkan indikasi adanya peningkatan signifikan. Namun, pembagian ‘kuenya’ memang belum seperti yang dibayangkan para perintis media online pada awalnya. Ini bukan hanya trend Indonesia, tapi juga dirasakan perusahaan media di berbagai belahan dunia lainnya.
Sebab, penikmat ‘kue’ iklan digital terbesar justru perusahaan mesin pencari seperti Google dan media sosial seperti Facebook, Twitter dan lain-lain. Pada saat yang sama perolehan iklan untuk media seperti cetak, TV dan radio, cenderung turun atau minimal stagnan.
Perkembangan baru ini memang membuka peluang baru bagi media, namun di sisi lain juga membwa efek samping yang juga tak kalah mengkhawatirkan. Ini menambah panjang daftar masalah yang dihadapi jurnalis dan pekerja media.
Menurut sejumlah riset yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, kondisi kesejahteraan jurnalis di Indonesia memang masih tergolong minim. Bagi yang berstatus karyawan, ada yang belum mendapatkan upah secara layak atau setidaknya sesuai upah minimum.
Untuk yang berstatus kontributor/koresponden, kesejahteraannya lebih memprihatinkan lagi karena hanya mendapatkan upah berdasarkan berita yang dimuat atau ditayangkan.
Soal aspek ketenegakerjaan kerja di sektor media juga ikut berubah seiring dengan trend digitalisasi ini. Meski bukan sepenuhnya merupakan hal baru, sejumlah media kini mulai lebih banyak membangun pola hubungan dengan jurnalisnya memakai konsep kemitraan.
Ini mirip dengan yang dilakukan perusahaan transportasi online Gojek dengan para supirnya. Dengan konsep semacam ini, maka hubungan antara perusahaan dan jurnalis tak mendasarkan pada Undang Undang Ketenagakerjaan, melainkan pada kontrak berkarakter perdata yang itu seringkali kurang menguntungkan jurnalis.
Situasi yang berubah ini, sayangnya, terjadi pada saat kondisi serikat pekerja di sektor media juga sedang stagnan pertumbuhannya. Menurut pendataan AJI dan Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), hingga kini baru ada 25 serikat pekerja. Jumlah ini sangat kecil dibandingkan dengan perusahaan media yang saat ini lebih dari 2.000 perusahaan.
Situasi ini tentu saja kurang menguntungkan. Sebab, dengan jumlah tersebut maka masih sangat sedikit jurnalis dan pekerja media yang bisa memperjuangkan hak-haknya secara kolektif melalui serikat pekerja.
Sejumlah hal di atas memberi gambaran soal perubahan besar dalam industri media akibat digitalisasi. Perubahan itu berdampak cukup signifikan terhadap jurnalis dan pekerja media, baik keamanan pekerjaan maupun kesejahteraannya.
Menyikapi perkembangan tersebut, AJI menyampaikan seruan:
- Jurnalis dan pekerja media diminta untuk mengikuti perkembangan teknologi, termasuk digitalisasi, agar bisa menyesuaikan dengan tantangan terbaru di dunia media.
Lingkungan yang berubah hendaknya disikapi dengan upaya terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar bisa menjawab tantangan keadaan. Perusahaan Pers diminta untuk memberikan pelatihan kepada jurnalis secara berkala terutama mengenai digitalisasi. - Jurnalis dan pekerja media hendaknya memperjuangkan hak-haknya, baik itu berupa pemenuhan hak maupun kesejahteraan, salah satunya melalui serikat pekerja. Perjuangan secara kolektif melalui serikat pekerja juga akan membuatnya lebih ringan dalam beban dan dinilai cukup efektif dalam pencapaian.
- Perusahaan media wajib memenuhi hak-hak jurnalis dalam hal kesejahteraannya, dengan upah yang layak dan tunjangan lainnya, yaitu asuransi jiwa, kesehatan dan jaminan hari tua seperti diatur dalam Undang Undang Ketenagakerjaan. Perusahaan media juga dilarang menghalangi pembentukan serikat pekerja, karena hak berserikat itu dijamin Konstitusi dan Undang Undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja.
- Perusahaan media harus terus berinovasi menghadapi perubahan iklim bisnis media, tanpa mengabaikan misi suci dari jurnalisme, yaitu memenuhi kepentingan informasi publik. Jika perusahaan mengalami permasalah ekonomi, hendaknya menjadikan PHK sebagai opsi terakhir. Jika pilihan ini harus dilakukan, perusahaan wajib memberikan hak-hak karyawannya seperti diatur dalam Undang Undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Pemerintah harus menjamin terpenuhinya hak-hak kesejahteraan jurnalis dan tegas menindak perusahaan pers yang terbukti melakukan pelanggaran Undang-Undang Ketenagakerjaan dan aturan terkait.
- Mendesak Dewan Pers menyikapi perkembangan dunia digital dengan membuat regulasi untuk melindungi media alternatif yang bekerja sesuai dengan kaidah jurnalistik. Selain itu, kerja sama konten antara media mainstream dan non-mainstream harus dilakukan secara imbang dan saling menguntungkan.
- Mendesak pemerintah untuk lebih adaptif dengan perkembangan teknologi digital dengan menciptakan ekosistem yang kondusif untuk pers, serta meningkatkan profesionalisme lembaga penyiaran publik sesuai perkembangan teknologi digital.
Sumber : AJI Indonesia