Merebak isu yang menyatakan bahwa Pers Lokal di Sulbar khususnya di Kabupaten Majene tidak ada yang resmi. Pernyataan ini mampu memengaruhi opini beberapa kepala desa sehingga berniat menghentikan kerjasama dengan Pers Lokal. Isu yang beredar itu bahkan dibumbui ancaman bahwa akan masuk bui jika melakukan kerjasama dengan pers lokal karena tidak resmi.
Benarkan Pers Lokal di Majene tidak resmi ? Apa landasan hukum yang digunakan untuk menilai Pers itu resmi atau tidak ? Penulis, melalui tulisan ini ingin mengajak pembaca agar tidak serta merta membenarkan 100 persen
pernyataan yang mendiskreditkan seseorang atau lembaga, tapi marilah mencari tahu dan menilai sesuai alas hukum yang berlaku di negara tercinta ini. Indonesia Negara Hukum.
Dalam Undang-Undang No 4 tahun 1999 tentang Pers, yang dimaksud Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.
Dalam UU tentang Pers ini, tidak dikenal istilah "pers lokal". Yang dikenal hanya pers nasional dan pers asing. Namun dalam membincangkan pers kerap muncul istilah "pers lokal". Istilah ini, sering digunakan, untuk membedakan pers yang terbit di ibukota dan pers yang terbit di daerah. Pers yang terbit di daerah sering dikonotasikan dengan pers lokal. Padahal sesungguhnya, semua pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia adalah Pers nasional (Pasal 1 ayat 6 UU No 40 tahun 1999 tentang Pers). Pers asing adalah pers yang diselenggarakan oleh pers asing.
Beberapa hari terakhir, muncul kegelisahan dalam diri pers lokal di Sulawesi Barat, khususnya di kabupaten Majene. Hal ini menyusul merebaknya informasi yang tidak berdasar yang mendiskreditkan mereka (pers lokal). Mereka dinilai tidak resmi bahkan ada ancaman dari pernyataan itu agar tidak bekerjasama dengan mereka (pers lokal) jika tidak ingin masuk bui. Informasi menyudutkan ini beredar dikalangan pejabat Pemkab Majene dan pejabat desa, karena pernyataan itu keluar dalam agenda pertemuan yang dihadiri para kepala SKPD dan para kepala desa.
Saya katakan tidak berdasar karena untuk mengukur resmi atau tidak sebuah perusahaan pers harus menggunakan alas hukum yang berlaku di Indonesia. Indonesia adalah negara hukum. Nah, alas hukum yang mengatur dan menata tentang pers adalah UU no 40 tahun 1999.
Dalam UU no 40 tahun 1999 Pasal 9 (1) disebutkan "Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers". Ayat (2) berbunyi "Setiap perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia.
Warga kabupaten Majene adalah juga warga negara Indonesia sehingga berhak untuk mendirikan perusahaan pers, sepanjang mematuhi ketentuan pada ayat 2 yakni berbadan hukum. Perusahan Pers yang terbit di Majene juga mematuhi ketentuan UU no 40 tahun 1999 karena berakta notaris (berbadan hukum) dan di SK-kan Menteri Kehakiman dan HAM Republik Indonesia. Jadi perusahaan pers yang resmi di Majene tidak hanya perusahaan yang berskala besar tapi juga perusahaan pers yang berskala kecil.
UU no 40 tahun 1999 juga mengatur tentang fungsi dan peranan dewan pers. Dewan pers dibentuk dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Bukan untuk mematikan pers lokal tapi justru melakukan pembinaan agar perusahaan pers yang berskala kecil bisa berkembang.
Dewan pers mengeluarkan standar perusahaan pers sebanyak 14 poin. Diantaranya: yang dimaksud perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan atau menyalurkan informasi; Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; Perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang; Perusahaan pers harus memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari rujukan perundang-undangan maka tidak ada ketentuan bahwa perusahaan pers harus mendapat pengakuan dari dewan pers. Justru dewan mendapat amanah dari undang-undang untuk melakukan pendataan.
Secara lengkap fungsi dewan pers diatur dalam pasal 15 ayat 2 UU no 40 tahun 1999, yakni a. melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; b. melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; c. menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; d. memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers; e. mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah; f. memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan; dan g. mendata perusahaan pers.
Jadi ironis sekali jika ada orang apalagi jika orang tersebut adalah oknum pers terlebih jika knum tersebut adalah unsur pimpinan dalam perusahaan pers yang menyatakan bahwa pers yang tidak terdaftar di dewan pers adalah media yang tidak resmi, karena tidak satupun aturan yang menyebutkan seperti itu. Yang ada adalah dewan pers memiliki tugas melakukan pendataan (uu no 40 pasal 15 ayat 2 poin g).
Mungkin tidak ada niat pernyataan oknum tersebut untuk menghasut, tapi beberapa kepala desa sudah merasa ketakutan untuk berlangganan dan bekerjasama dengan pers lokal karena takut ancaman masuk bui dan bayang-bayang diperiksa KPK.
Patut disayangkan jika pernyataan berbau menghasut itu berakibat mematikan pers lokal karena pers lokal juga tidak bisa diabaikan, sejalan dengan menguatnya otonomi daerah, peran pers lokal semakin nyata dalam mendukung jalannya pemerintahan di daerah.
Kalau ada kekeliruan yang dilakukan oleh pers lokal janganlah lantas melakukan upaya mematikannya. Justeru akan lebih bagus jika mereka dibina bukan dibinasakan. Karena menghasut untuk tidak melirik "pesaing" bisa melanggar undang-undang larangan monopoli, UU nomor 5 tahun 1999 tentang monopoli.
Dalam pasal 19 UU no 5 tahun 1999 disebutkan Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
c. memibatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan; atau
d. melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Penulis yang juga penanggungjawab media ini menengadahkan tangan berharap agar siapa saja yang melihat kekeliruan/kesalahan yang kami lakukan maka berharap tunjukilah kami kekeliruan/kesalahan itu. Dan kami akan merasa sangat berterimakasih jika kiranya sudi memberikan bimbingan untuk kemajuan dalam menegakkan kemerdekaan pers yang merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menja
di unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945.
di unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana dalam pasal 28 Undang-undang Dasar 1945.
Dengan begitu maka terciptalah Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".
Binalah kami, jangan dibinasakan karena Pasal 28 UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.(*)