Oleh : Zulkarnain Hasanuddin, SE,.MM
( Founder Garansi Institute )
Beberapa bulan lalu tepatnya 8 September 2025, terjadi perubahan arsitek APBN (Bendahara negara) dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudi Sadewa.
Beberapa periode sebelumnya Sri Mulyani seolah tidak tergantikan dalam menukangi keuangan negara. 10 tahun kepemimpinan presiden jokowi (2014 – 2024 ) dan 1 periode kepemimpinan bapak SBY ( 2005 – 2010) dan kurang lebih setahun pemerintahan Prabowo subianto, Sri Mulyani Indarwati tetap menjadi menteri keuangan.
Jika melihat pergantian tersebut harapannya bukan hanya rotasi teknokrat, tetapi harusnya menjadi simbol pergeseran mazhab ekonomi yang akan menjadi warna arah kebijakan fiskal indonesia saat ini dan dimasa yang akan datang, untuk memastikan pertumbuhan ekonomi bukan hanya angka dan nilai presentase saja, tetapi sekaligus menjadi jawaban keberpihakan pada rakyat, bukan lagi hanya pada segelintir orang (konglomerat )saja, tetapi APBN sekaligus menjadi konversi nilai uang menjadi kesejahteraan rakyat indonesia
Jika selama ini, saat Sri Mulyani menjadi pengampuh APBN yang dikenal dan identik dengan disiplin fiskal, kredibilitas internasional, dan pendekatan ortodoks pasar ( pasar bebas ). Pesan yang dibawa sederhana namun fundamental dimana pengeluaran negara harus sejalan dengan penerimaan. Prinsip ortodoksi fiskal ini memastikan keberlanjutan utang, kredibilitas kebijakan, dan kepercayaan investor global sehingga srategi ala Sri mulyani sekaligus menjadi simbol harga diri indonesia di mata lembaga keuangan international.
Purbaya Yudi sadewa kasat mata terlihat sebagai antitesa Sri Mulyani, dan publik mengenalnya dengan gaya nyablaknya dan seperti koboy, lebih populis dengan meyakini bahwa negara harus lebih berani melakukan intervensi demi melindungi kepentingan domestik, sehingga pendekatan yang dilakukan keduanya sangat berbeda, seolah terjadi benturan pemikiran walaupun masih dalam mazhab yang sama ( Mazhab klasik / kapitalisme ), kapitalis Neolib dan kapitalis keynesian
Perbedaan pandangan Sri Mulyani dan Purbaya tercermin dalam penerapan kebijakan untuk menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Menjaga kredibilitas global versus menegaskan kedaulatan domestik. Sri Mulyani memandang defisit lebar sebagai ancaman kredibiltas yang berpotensi dan beresiko menaikkan yiel obligasi ( tingkat pengembalian yang diperoleh investor dari investasinya pada obligasi / bunga tahunan / harga pasar x 100% ) dan melemahkan rupiah. Dan juga menekankan keberlanjutan utang, namun defisit terkendali, serta keterhubungan dengan pasar internasional. Sedangkan Purbaya menilai defisit menjadi alat dorong pertumbuhan, selama dikelola produktif dan diarahkan pada sektor prioritas. Dan menekankan perlunya ruang fleksibilitas, keberanian melawan standar global, dan perlindungan industri nasional ( domestik )
Namun pertarungan mazhab ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik. Pemerintahan presiden Prabowo subianto menekankan pembangunan besar-besaran, kemandirian pangan dan penguatan industri domestik. Dalam konteks ini tentu pendekatan Purbaya dinilai banyak kalangan lebih relevan dan lebih sejalan dengan narasi populis, bahkan masyarakat awan pun merasakan resonansinya, karena gagasan purbaya kedengarannya lebih dekat dengan kepentingan rakyat walaupun tetap memiliki resiko terhadap inflasi dan deflasi, serta ketidakpastian harga. Sehingga kedepan akan diuji antara gaya elitis Sri mulyani dengan gaya merakyat ala Purbaya. Apakah Purbaya mampu menjadi arsitek keadilan, ataukah akan tetap sama dengan pendahulunya hanya sekedar penjaga gerbang kapitalisme
Sejarah panjang ekonomi indonesia menunjukkan sebuah pola yang berulang,pergantian menteri keuangan sebagai kunci dalam menjaga dan menjalankan kewenangan kebijakan fiskal dan moneter sesungguhnya tidak pernah merubah paradigma atau tetap dengan mazhab lama. Sepertinya hanyalah pergantian figur, tapi tetap menegakkan ideologi lama, yakni kapitalisme yang akan selalu berorientasi menguntungkan segelintir elit ( konglomerat ) dan tetap tidak akan terdisribusi keadilan ekonomi dan sosial, kecuali kesenjangan yang akan makin melebar. Ibarat sakit lama diberikan obat yang sama
Target pertumbuhan ekonomi 6 – 8 persen sebagai garansi Purbaya pada Presiden Prabowo subianto, sekaligus mendorong optimisme masyarakat, karena harapan yang begitu besar rakyat pada menteri bergelar koboy ini agar daya beli rakyat membaik dan bertumbuh bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi indonesia yang dijanjikan, ditambah lagi dengan statement beberapa waktu lalu yang mengajak rakyat kaya bareng-bareng, rakyat seolah dihipnotis dan semakin besar keyakinannya akan menuju perubahan yang fundamental. Dalam teori ekonomi neo klasik yang menjadikan pertumbuhan sebagai variabel tunggal keberhasilan ekonomi rakyat, tetap tidak akan menjadi jawaban dari persoalan ekonomi kita saat ini, karena pertanyaan sederhana akan muncul ekonomi siapa yang akan bertumbuh ?apakah ekonomi petani,nelayan dan usaha mikro yang memperoleh ruang hidup dalam pertumbuhan itu atau kembali menjadi milik para pemilik modal besar yang dibiayai oleh uang rakyat melalui kebijakan fiskal, sehingga pertumbuhan pun tidak merata. Padahal pertumbuhan tanpa pemerataan hanya akan memperkuat ketimpangan lama
Style Purbaya walaupun terlihat berbeda dengan pendahulunya, tetapi sesungguhnya tetap sebagai ekonom neo klasik penjaga kapitalisme. Hanya memilih model orientasi kapitalisme negara ( state – led capitalism ) seperti masa orde baru ketimbang kapitalisme pasar ( market – led capitalism ) yang model pasca reformasi yang hanya memposisikan rakyat sebagai angka, bukan pelaku utama pembangunan. Dalam mazhab ini negara bertindak sebagai pemodal besar yang menyalurkan modal melalui lembaga financial. Sementara rakyat dibiarkan menunggu tetesan dari atas dalam trickle-down economy yang sesungguhnya strategi ini telah lama, namun terbukti gagal sejahterakan rakyat banyak. Ekonomi yang adil tidak lahir dari pertumbuhan, tetapi dari keberanian menegakkan kedaulatan ekonomi rakyat. (*)
