
Dalam konsultasi publik yang dihadiri lebih dari 80 perwakilan masyarakat sipil dan akademisi tersebut, Joni Yulianto dari Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas) menyampaikan bahwa korban kekerasan seksual disabilitas membutuhkan bentuk-bentuk penanganan dan pendekatan yang berbeda. RUU TPKS perlu menjamin inklusivitas ini.
“Difabel sering tidak menyadari dan tidak memahami tentang alat kontrasepsi bahkan tidak memahami pelecehan dan kekerasan seksual. Sehingga pendekatannya menjadi cukup berbeda, dari situlah saksi ahli dan profile assessment menjadi penting untuk menjelaskan hal hal seperti ini,” kata Joni.
Selain itu, beberapa isu seperti kewajiban restitusi bagi pelaku, kehadiran Lembaga Pelayanan di kawasan terpelosok dan terpencil, serta perlindungan yang komprehensif bagi korban kekerasan seksual dibawah umur juga menjadi hal yang menjadi perhatian utama para perwakilan masyarakat sipil dan akademisi.
“Kami mengapresiasi kerja keras tim pemerintah, yang tidak berlama-lama menyiapkan DIM pemerintah. Kami berharap untuk terus dilibatkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi penting seperti ini dalam tim pemerintah dan mengawal bersama RUU TPKS saat pembahasan nanti di DPR,” kata Ratna Batara Munti, Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). (KSP)