Penulis: Zulkarnain Hasanuddin, SE., MM.
(Founder Garansi Institute).
Sejarah demokrasi Indonesia cukup panjang. Sejak era orde lama dengan sistem demokrasi terpimpin, dimana karakter demokrasi saat itu dipraktekkan dengan pusat pemerintahan di bawah kendali Presiden Soekarno yang berlangsung pada tahun 1959 hingga 1966, sekaligus menjadi awal pemerintahan orde baru yang berlangsung 1966 hingga tahun 1998.
Sistem demokrasi yang dipraktekkan orde baru saat itu adalah demokrasi Pancasila dengan ciri kekuasaan tertinggi di tangan rakyat yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Namun, dalam realitanya, sistem demokrasi Pancasila yang dipraktekkan masa orde baru lebih cenderung ke praktek otoritarian atas nama stabilitas politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana sistem presidensial memberikan kuasa penuh pada Presiden Soeharto dalam menjalankan pemerintahan.
Akibatnya, hampir seluruh aktivitas politik rakyat di bawah kendali negara, bahkan cenderung refresif jika rakyat bersuara kritis terhadap negara, sehingga saat itu banyak penculikan terhadap para aktivis pro demokrasi maupun aktivis buruh tani.
Bahkan, pemilu yang digelar setiap lima tahun sekali tetap dalam kontrol dan intervensi negara.
Salah satunya adalah melakukan fusi partai politik yang sebelumnya multi partai menjadi tiga partai politik untuk memudahkan negara melakukan kontrol terhadap aktivitas yang dilakukan oleh partai politik saat itu, sehingga ada guyonan Gusdur yang familiar sampai saat ini bahwa salah satu kecanggihan pemilu Indonesia adalah pemenang pemilu telah diketahui sebelum pemilu dilaksanakan.
Padahal, jika merujuk pada kriteria pemilu berkualitas, ciri-cirinya adalah unpredictible result dan predictible process.
Betapa negara saat itu melakukan intervensi dan hegemoni terhadap proses demokrasi yang dilaksanakan sejak masa orde baru yang akhirnya tumbang pada tahun 1998.
Pada masa reformasi, demokrasi memiliki ekspektasi dan harapan yang lebih baik pasca orde baru dengan karakteristik pemilu yang lebih demokratis, perputaran kekuasaan terjadi secara menyeluruh dari pemerintah pusat hingga daerah.
Sebagian besar hak warga negara juga dijamin pemerintah, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan lain-lain.
Pemilu bertujuan untuk menyelenggarakan perubahan pemerintah dengan teratur serta damai seiring dengan mekanisme yang dijamin oleh konstitusi.
Pemilu mewujudkan kedaulatan rakyat dalam kehidupan bernegara sebagai prasyarat negara demokrasi.
Pemilu adalah suatu bentuk dari hak asasi warga negara yang sifatnya prinsipil, karena dalam pelaksanaannya pemerintah wajib mewujudkan hak asasi warga negaranya (political rights), walau sempat berjalan pada awal-awal reformasi sebagai letupan yang lebih progresif terhadap demokrasi yang diharapkan yang telah lama dalam kunjungan otoritarian.
Seiring waktu, praktek demokrasi dalam orde reformasi di usianya yang ke-28 tahun seolah kembali memberi pesan sebagai alarm bahwa demokrasi kita kembali tidak dalam kondisi baik.
Praktek trias politica yang tak berjalan dalam relnya dimana lembaga eksekutif mempraktekkan cara-cara yang tidak sesuai moralitas trias politica, dapat dilihat dari hasil-hasil putusan rumpun yudikatif dalam memutus perkara-perkara politik seperti dalam pemilu dan pilkada yang seolah putusan tersebut hanya milik oligarki dan golongan tertentu.
Sehingga, praktek demokrasi yang kita saksikan seolah begitu ugal-ugalan dan masih banyak yang bisa kita saksikan hal-hal yang mencederai nalar demokrasi kita, salah satu contohnya ialah saat pelaksanaan pemilu lahirnya Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 yang dipersepsi hasil nepotisme dan melanggar UU KKN.
Setelah itu juga sempat terjadi polemik terhadap Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 tentang perubahan usia calon kepala daerah dari minimal 30 tahun menjadi 25 tahun untuk calon gubernur/wakil gubernur yang juga ditengarai sebagai putusan untuk kepentingan seseorang dan golongan, walau pada akhirnya keluar Putusan MK 70/PUU-XXII/2024 sekaligus mengakhiri polemik terhadap putusan MA sebelumnya.
Walau demokrasi telah menjadi istilah yang begitu umum dalam percakapan politik dan sosial saat ini, seringkali kita merenungkan apakah realitas demokrasi yang kita alami sehari-hari sesuai dengan idealisme yang diusung oleh konsep tersebut.
Konsep demokrasi merujuk pada situasi dimana sebuah negara mengklaim dirinya sebagai negara demokratis, tetapi dalam praktiknya, demokrasi tersebut mungkin hanya sebatas nama belaka.
Salah satu hambatan utama untuk demokrasi yang sejati adalah oligarki politik.
Sebagai contoh, dalam banyak negara demokratis, elit politik atau kelompok khusus memegang kendali besar atas kekuasaan politik dan ekonomi.
Mereka sering mengendalikan proses pengambilan keputusan, sementara suara rakyat hanya sebatas formalitas. Hal ini mengaburkan batas antara demokrasi dan pemerintahan otoriter.
Untuk demokrasi yang sehat kedepan tentu dibutuhkan sebuah gerakan moral dan substantif untuk kembali mengambil peran strategis dalam menata demokrasi kita kembali ke khittahnya.
Beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan di masa depan adalah perbaikan sistem rekrutmen penyelenggara pemilu, perbaikan kerangka hukum pemilu, termasuk sistem dan teknis penyelenggaraan pemilu, dan perbaikan tata kelola pemilu dengan mengedepankan moral values dan democratic values.
Sementara pada konteks politik makro, perbaikan harus dilakukan terutama reformasi partai politik dan penguatan etika politik, perbaikan kesetaraan akses pada sumber daya ekonomi dan politik, serta penguatan masyarakat sipil dengan memperkuat pendidikan politik dan pendidikan demokrasi (Prof. Valina).