Tahun 2016 menjadi era politik karena adanya pemilihan kepala daerah yang digelar secara serentak. Menurut data Komisi Pemilihan umum, pendaftaran Pilkada dilakukan pada 21-23 September 2016. Ada 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten yang menggelar pemilihan kepala daerah. Ada 153 pasangan calon yang mendaftar, dengan rincian: 7 pasangan calon untuk pemilihan gubernur, 18 walikota, dan 76 bupati.
Dari sekian pemilihan kepala daerah itu, yang cukup menyedot perhatian luas adalah pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, yang diikuti oleh tiga pasangan: Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat, dan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno. Pemicunya adalah pidato calon inkumben Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat bertemu masyarakat di Kepulauan Seribu, 28 September 2016. Saat itu Ahok sebetulnya sedang bicara soal program untuk Kepulauan Seribu, namun dia mengaitkannya dengan Pilkada DKI Jakarta yang pada intinya, program akan berjalan meski dia tidak lagi menjabat gubernur. Dalam pidato itu, Ahok menyebut mereka yang tidak memilihnya mungkin karena dibohongi dengan memakai Surat Al Maidah ayat 51.
Pidato itu memicu protes keras dari sejumlah organisasi massa Islam dan memicu sentimen rasial. Protes-protes itu kemudian yang berujung pada demonstrasi 212, sebutan untuk aksi massa pada 2 Desember 2016. Sentimen akibat ayat Al Maidah itu juga meluas karena pemberitaan media massa. Mengkhawatirkan soal ini meluas ini di media, Dewan Pers mengeluarkan edaran nomor: 01/SE-DP/X/2016 pada 14 Oktober 2016.
Dalam Surat Edaran yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Stanley Adhi Prasetyo itu, Dewan Pers meminta media “Menahan diri dan tak ikut meningkatkan tensi politik yang bisa berujung menjadi sebuah konflik terbuka secara horisontal akibat diakomodasinya pernyataan-pernyataan bermuatan kebencian dan sentimen berdasar prasangka SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan).”
Kisruh soal Al Maidah itu kemudian berlanjut dengan mulai diprosesnya Ahok secara hukum karena dugaan penodaan agama. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menetapkannya sebagai tersangka pada 16 November 2016 karena diduga menodai agama Islam terkait dengan pidatonya di Kepulauan Seribu itu. Ahok dijerat dengan Pasal 156a dan/atau Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan mulai diadili pada 13 Desember 2016. Sehari sebelum sidang, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengeluarkan himbauan agar media bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA itu. “Media agar bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) mengingat dampak kasus ini sangat besar,” kata Ketua Umum AJI, Suwarjono, 12 Desember 2016.
Dalam siaran pers tertulisnya Suwarjono menjelaskan bahwa media memang punya kewajiban untuk menyiarkan berita sebagai bagian dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Menyiarkan proses persidangan sepanjang dibolehkan pengadilan, adalah bagian dari kebebasan pers, namun dia juga mengingatkan soal tanggungjawab lainnya, yaitu menjaga kepentingan yang lebih besar. “Oleh sebab itu, penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak positif atau negatifnya. Untuk isu SARA, saya berharap media tidak mengejar rating atau jumlah penonton, bisnis atau untuk memenuhi keinginan politik yang berperkara,” katanya.
Kebebasan pers, menurut Suwarjono, dijamin oleh Konstitusi dan Undang Undang Pers. Hal tersebut juga dituangkan dalam preambule Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Ia juga menyebutkan, preambule KEJ tidak hanya menyatakan secara eksplisit soal kebebasan pers, tapi juga soal kewajibannhya yang lebih besar. “Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama,” kata dia, mengutip preambule KEJ yang disahkan Dewan Pers tahun 2006 itu. Sumber : siaran pers Catatan Akhir Tahun AJI