Penulis: Imran Saidi, S.Pd.I., M.Pd.
Pesta demokrasi hakikatnya adalah agenda lima tahunan yang menjadi sarana seluruh warga negara untuk melakukan flashback atas kerja-kerja para pemegang amanat yang telah dipercayakan sebelumnya.
Semestinya hal ini menjadi sesuatu yang dinanti oleh masyarakat dengan keyakinan adanya perbaikan taraf hidupnya, sedang mereka yang sudah terpilih lima tahun lalu bersiap untuk menerima catatan rapor atas kerja mereka.
Mereka yang berkinerja baik alhasil akan melenggang untuk lanjut, sedangkan yang kurang berkinerja baik akan menerima hukuman sebagai konsekuensinya.
Paling tidak, ada catatan terkait dengan fenomena demokrasi kita saat ini:
a. Adalah benar hakikat sebuah pesta mestinya disambut dengan rasa sukacita untuk memilih pemimpin baru yang dianggap lebih mumpuni untuk mengganti mereka yang kurang berkinerja baik, tetapi fakta juga menunjukkan tidak semua yang berkinerja baik akan melenggang serta yang berkinerja buruk akan tergerus, sungguh sesuatu yang ironis.
b. Bahwa sesungguhnya mereka yang ditunjuk menduduki jabatan adalah untuk menjalankan amanat sebagaimana sumpah dan janji mereka saat dilantik sebagai pemimpin terpilih dengan mengucapkan “Demi Allah saya bersumpah, akan memenuhi kewajiban sebagai ….. dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya” atau ”Bahwa saya, dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, daripada kepentingan pribadi seseorang dan golongan”. Fakta bahwa mereka sudah banyak yang tidak sadar, entah sengaja lupa atau sudah pikun.
c. Bahwa mereka yang setelah dipilih menjadi pejabat negara seharusnya senantiasa duduk di atas kursi rakyat Indonesia yang hakikatnya adalah milik semua warga sehingga pada saat ia menjabat mestinya jabatan politik/partai harus dipinggirkan agar menjadi representasi milik semua warga, bukan golongan atau kelompok tertentu. Namun ironisnya, setelah sekian lama ketentuan itu berlaku akhirnya dihapus, alhasil kepentingan kelompoklah yang diutamakan dan berupaya menumbuhsuburkan kekuasaan alias nepotisme menjadi tumbuh subur di segala tingkatan.
d. Bahwa sesungguhnya jabatan politik hakikatnya yang kita anut di negara tercinta ini mengandung nilai moral, yang artinya partai politik hanya menjadi kendaraan. Ketika sudah menerima mandat sebagai pemimpin, jabatan politik mesti dilepas untuk menghindari conflict of interest. Hal ini disebabkan ketika seorang berada di posisi pengurus partai politik, maka jabatan tersebut secara inheren tidak bisa dilepaskan jika ia tidak menyatakan keluar atau berhenti dari jabatan tersebut. Akibatnya terjadi polarisasi, bagaikan secangkir kopi yang sudah tidak dapat dipisahkan kopi dan gulanya, bahkan semakin nikmat bila diaduk dan semakin mantap bila ditemani sebatang rokok. “Jangan ganggu aku, aku nikmati dulu kopinya. Biar anjing menggonggong kafilah tetap
berlalu. Urusan moral, urusan akhlaq,” kata Iwan Fals dalam lagu Manusia Setengah Dewa.
Karena menyaksikan hiruk pikuk pesta demokrasi tahun ini dengan catatan keprihatinan tersebut, inilah beberapa harapan yang ingin saya tuangkan melalui media ini:
1) Karena pemimpin bangsa adalah simbol negara, maka sebaiknya janganlah memihak, meng-endorse, apalagi sampai menyebutkan nama atau yang sejenisnya kepada salah satu pihak. Biarkan warga menikmati pesta secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) tanpa ada rasa kecemasan.
2) Bagi penyelenggara pemilihan umum, terutama pengawas, laksanakan tugas dengan profesional dan jurdil. Janganlah seperti parang tetapi jadilah keris yang tajam ujungnya dan kedua sisinya, tidak pandang bulu, berlaku adil karena adil itu tidak hanya dibuktikan dengan aturan, tetapi yang paling penting adalah sikap dan tindakan.
3) Kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terhormat, kembalikan aturan lama terkait pejabat negara wajib mundur dari pengurus partai untuk menghindari distorsi jabatan untuk menjamin bahwa pejabat bertugas melayani rakyatnya, bukan konstituennya.
Derajat seorang negarawan adalah sejauh mana seseorang yang mengabdikan dirinya untuk rakyat dan negaranya, segala ucapan dan perbuatannya menjadi teladan bagi seluruh rakyat, bukan kelompok atau golongan tertentu, apalagi untuk membangun dinasti. (*)