- Penulis : Alam Saubil
- Alumni Pertanian, Universitas Hasanuddin dan Komunitas Educare Majene
Tuhan sang Maha Pencinta yang menciptakan manusia karena cinta, hanya agar manusia belajar untuk kembali mencintai-Nya. Dalam sebuah hadist qudsi, Allah swt. berfirman, ” Pasti akan mendapat cinta-Ku orang-orang yang cinta-mencintai karena Aku, saling kunjung-mengunjungi karena Aku dan saling memberi karena Aku.”
Hingga Tuhan menciptakan Agama yang penuh dengan cinta. Dari kutipan sabda Nabi Muhammad saw, “Cinta adalah asas (ajaran agama) ku”. Begitupun sebuah ungkapan dari Imam Ja’far al-Shadiq, “Islam adalah cinta, dan cinta adalah Islam”.
Jika mencoba menyelami indahnya ajaran tuhan yang penuh dengan cinta, akan kita temukan bahwa musibah dan cobaan sekalipun dalam hidup ini sebenarnya merupakan bentuk sentuhan cinta dari-Nya. Neraka dengan segala siksa didalamnya merupakan bukti cinta itu sendiri, merupakan bentuk penyucian dosa, agar kelak semua manusia kembali berhak untuk menyatu dengan-Nya.
Segalanya atas dasar cinta. Kadang memang cinta terasa begitu sangat melelahkan sebelum kita sampai pada tujuan yang sebenarnya dari cinta itu. Cinta itu suci dan tenang, cinta hanya untuk yang sabarnya menyatu dengan cinta-Nya.
Jika Tuhan yang begitu maha cinta, menurunkan agama yang mengagungkan cinta, dengan sang nabi sebagai pembawa ajaran yang penuh cinta pula. Maka hendaknya manusia sebagai ummat Islam menjadikan cinta sebagai pakaian dan makanan yang harus senantiasa dirawat dan dibagikan kepada manusia-manusia yang lain. Sebagai konsekuensi dari keberislaman. Menjadi sangat ‘aneh’ ketika kesabaran ummat ‘jatuh’ disifat perilaku amarah, peperangan dan kekerasan sebagai jalan utama dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada. Saking besarnya cinta dan saking lapangnya kasih sayang Tuhan, Ia takkan pernah berhenti memberikan cinta kepada siapapun dan kapanpun itu, bahkan Tuhan menghadiahkan kita ruang-ruang ‘bercinta’ memadu kasih dengan sangat ‘intim’ dengan-Nya.
Memberikan manusia peluang merasakan perjalanan romantisme spiritual yang pada akhirnya akan meluruskan dan melapangkan jalan-jalan pertemuan dengan-Nya. Hadiah dari Tuhan itu adalah sebuah bulan yang penuh keagungan, bulan yang penuh rahmat dan ampunan, yang di dalamnya ada satu malam yang lebih muliah dari seribu bulan. Jangankan hanya seribu bulan, mungkin sejuta bulanpun belum mampu menandingi malam yang satu itu.
Istilah ‘seribu bulan’ kemungkinan hadir karena kondisi pada zaman kala itu yang perhitungan tertinggi adalah sampai angka seribu. Sehingga analogi tertinggi dalam angka yang menggambarkan kemuliaan malam itu disebut malam seribu bulan atau malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Dengan kata lain, sebenarnya pada malam tersebut terlalu agung untuk dianalogikan dengan angka, cukup diresapi sebagai bentuk kemahabesaran sang pemilik cinta dan kasih sayang.
Itulah bulan suci ramadhan dan malam lailatu qadar yang insyaallah sebentar lagi kita jumpai. Bulan yang paling dirindukan, yang kehadirannya membawa kebahagiaan dan kepergiannya membawa kesedihan yang begitu dalam. Namun Tuhan tepis rasa sedih yang dalam itu dengan menghadirkan hari setelahnya. Sebuah hari penuh kebahagiaan, kita mengenalnya dengan sebutan ‘idul fitri’, hari dimana seolah manusia kembali terlahir dalam keadaan suci bersih tanpa dosa. Hingga muncul sebuah puisi singkat yang cukup terkenal, sangat singkat.
“Malam lebaran, bulan diatas kuburan”.
Seperti itulah isi sebuah puisi yang begitu singkat. Penulis mencoba memaknai apa yang ada dalam puisi karya Sitor Situmorang tersebut dengan segala keanehannya, maka secara konteks bahasa nuansanya ada pada penghujung bulan suci ramadhan menyambut datangnya hari yang begitu suci, yaitu idul fitri.
Malam lebaran meniscayakan sebuah kebahagiaan yang teramat besar, namun di baliknya terdapat kesedihan yang teramat dalam karena akan meninggalkan bulan suci ramadhan. Disimbolkan dengan kata ‘bulan’ sebagai simbol keindahan atau kebahagiaan dan kata ’kuburan’ sebaga simbol kesedihan yang dalam.
Saya percaya, Tuhan hanya menyediakan bulan ramadhan dan idul fitri sekali dalam setahun, dan bukannya sepanjang tahun. Itu tak lebih dari sekedar untuk menjaga dan merawat cinta dalam hati ummat. Cinta yang selalu diagungkan, tak melulu bertemu, kadang perlu dipisahkan sementara waktu untuk memupuk tumbuhnya kerinduan, hingga saat berjumpanya kembali kita merasakan cinta yang sama saat pertama kali bertemu dengan sang kekasih.
Selamat mempersiapkan diri menyambut Bulan Suci Penuh Cinta….