- Tulisan : Muhammad Rusydy
- Umur : 17 tahun
- Siswa Kelas XII MIA I SMAN 1 Majene
Mandarnews.com – Sudah beberapa bulan full day school diterapkan di Indonesia. Sekolahku sendiri sudah sejak pertengahan Agustus menerapkan aturan ini. Awalnya para siswa sebagai objek dari peraturan ini terpecah dua, ada yang pro dan ada juga yang kontra.
Siswa yang pro merasa peraturan ini tidak ada bedanya dan mereka pikir ini tidak masalah karena dalam wacana full day disebutkan adanya waktu ekstrakulikuler (ekskul) setelah pulang sekolah. Sementara yang kontra merasa rancangan peraturan ini hanya akan membuat mereka tertekan dan kelelahan.
Tapi setelah satu minggu full day school diadakan siswa yang menolak merupakan siswa yang tertawa paling keras, sementara siswa yang pro memiliki ekspresi wajah paling kecewa. Alasannya karena wacana program ini tidak disertai dengan wacana pengurangan jam mengajar.
Sehingga jam mengajar dihari sabtu dialihkan ke hari-hari yang lain. Hal itu mengakibatkan jam ekskul yang dijanjikan hanya ada satu atau dua kali seminggu, itupun hanya 2 x 45 menit untuk kelas X, 1 x 45 untuk kelas XI dan 0 x 45 untuk kelas XII. Saat itu kami menyadari bahwa “Iklan itu pasti selalu bagus”.
Serangan aku ingin membeberkan fakta yang terjadi di lapangan setelah tiga bulan program ini berjalan. Setidaknya ada empat masalah karena peraturan ini.
Pertama, tidak ada siswa yang berfikir out of the box.
Aku bisa pastikan dari 29 anak, hanya ada satu orang bangun pagi dengan pemikiran “Aku ingin membuat sesuatu yang baru” atau “Aku ingin mempelajari hal yang baru”. Tidak ada yang perfikir untuk membuktikan teori fisika yang mereka dapat di kelas atau menentang defenisi ‘hidup’ dalam ilmu biologi.
Pernah tidak kalian berpikir bahwa kita membutuhkan defenisi baru tentang kata ‘hidup’? sebab dalam ilmu biologi, manusia, hewan dan tumbuhan dikatakan hidup karena mereka tersusun dari sel yang hidup.
Tapi yang rancu adalah sel yang ‘hidup’ tersebut tersusun dari organel yang digolongkan tidak hidup, bahkan DNA sekalipun tetap digolongkan tidak hidup. Bagamana kita memutuskan sebuah benda hidup atau tidak, jika benda hidup tersebut tersusun dari sesuatu yang kita golongkan tidak hidup?
Apakah ada siswa yang berpikir seperti itu terhadap isi buku paket mata pelajaran mereka? Jawabannya sedikit. Karena pengetahuan mereka terkungkung pada hal-hal yang itu-itu saja. Kenapa begitu? Karena hampir seluruh hari mereka terpaku pada pengetahuan yang itu-itu juga, tanpa membiarkan mereka memiliki waktu berpikir tentang hal lain yang lebih mereka butuhkan untuk minat dan bakat.
Kedua, program ini sangat efektif untuk menghilangkan budaya literasi. Akibat full day school siswa tidak memiliki waktu untuk membaca buku atau bahkan keinginan untuk membaca buku. Saat aku menanyakan “Pernah tidak kalian membaca buku selain buku K13 tiga bulan terakhir ini?”. Dari 29 siswa tidak ada yang menjawab iya.
Setidaknya semenjak peraturan menteri diterapkan, pengetahuan para siswa hanya berfokus pada buku-buku yang berisi seputar pelajaran di sekolah untuk menjawab soal ulangan dan tugas yang bertumpuk setiap hari. Hal itu membuat pengetahuan siswa tidak keluar dari sekolah. Sebagai contoh dan perbandingan sebelum full day, aku bisa menghabiskan empat buku per bulannya.
Tapi setelah full day, aku bahkan tidak sempat untuk menghabiskan novel berjudul Story From The Past dan buku menarik tentang kimia berjudul Chemistry for Dummies. Hal tersebut membuatku merasa pengetahuan ku berada dalam tempurung. Mungkin satu-satunya cara agar aku bisa keluar dari tempurung sempit ini adalah aku harus cepat-cepat lulus dari SMA.
Padahal dengan membaca buku kita bisa memahami hal-hal yang belum kita alami. Sebagai contoh seorang gadis bisa tahu dan memahami perasaan seorang tuna susila, karena membaca buku tentang itu, seorang remaja tahu seperti apa bahaya narkoba setelah membaca novel atau cerita tentang pecandu narkoba.
Aku sangat optimis peningkatan budaya literasi dapat menjadi salah satu senjata ampuh memerangi narkoba. Tapi aku jadi pesimis akan hal itu setelah menyadari dampak yang mulai terasa dari full day school. Ketiga, kelas menjadi tempat yang tidak menyenangkan. Dari 29 siswa sebagai sumberku, kebayakan mereka setuju dengan tulisan ini.
Salah satu alasannya adalah suasana kelas yang terlalu lama dan membosankan. Sudah menjadi alasan klasik dimana siswa mengeluh tidak memiliki waktu istirahat, sampai di rumah mereka kelelahan lalu tertidur. Karena itu mereka kehilangan satu hal penting selama menjalani pendidikan, yaitu belajar malam untuk mengulangi pelajaran di kelas hari itu.
Dari pengalamanku, cara belajar paling buruk adalah di kelas, karena kelas itu terlalu ramai dan banyak gangguan. Saking banyaknya siswa di kelas, membuat para siswa harus bersaing satu sama lain dalam hal kecepatan mengerti pelajaran. Masalahnya lagi kebanyakan guru langsung mengganti sub bab materi setelah beberapa siswa di kelas sudah mengerti.
Tapi itu bisa ditanggulangi dengan belajar malam, namun siswa terlalu lelah untuk itu, bukan?
Keempat, menambah beban guru. Aku memang bukan seorang guru. Tapi melihat guru-guru harus terus mengajar dari 7.30 pagi hingga 4.15, membuat pikiran ku penuh tanya “apa mereka tidak kelelahan? Mereka kan sudah berumur”.
Apalagi setelah itu harus mengerjakan silabus, RPP, prota, prose dan entahlah apa lagi. Aku sering bertanya pada guru-guruku. “Apa ibu atau bapak tidak kelelahan?”. Rata-rata jawaban mereka “tidak, karena ini sudah tuntutan pekerjaan.”
Fakta yang terakhir dan ini lucu. Jika para siswa disuruh memilih full day scholl atau tidak. Pasti mereka pilih full day school, karena hari liburnya lebih panjang. Fakta itu tidak aneh bagi ku, karena ‘TEDed’ sudah menjelaskan fenomena itu.
Jika pertanyaan itu ditujukan untukku, pasti kujawab dengan tegas “Saya mendukung full day, tapi bukan karena hari liburnya atau apanya”. Loh kok tiba-tiba bertolak belakang Rus? Aku akan jawab pertanyaan ini di tulisanku selanjutnya. (***)
Baca kumpulan tulisan menarik dari Muhammad Rusydy