Salah satu hutan di Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulbar.
Polewali Mandar, mandarnews.com – Bencana banjir bandang yang melanda tiga provinsi di Pulau Sumatra, yaitu Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat membuka mata kita tentang betapa pentingnya keberadaan hutan, tak terkecuali di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar).
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulbar, Asnawi, menyampaikan jika daerah ini diperkirakan kehilangan 8.000 hektar hutan dalam dua tahun terakhir.
“Menurut data pihak pemerintah terkait program pengendalian deforestasi di Sulbar, laju rata-rata deforestasi di Sulbar tercatat sekitar 3.730,81 hektar per tahun. Jika angka itu masih relevan untuk periode terakhir, maka kita bisa menyimpulkan bahwa dalam dua tahun terakhir Sulbar kehilangan ~7.400-8.000 hektar hutan,” ujar Asnawi melalui aplikasi pesan, Rabu (3/12/2025).
Tapi, Asnawi menekankan, angka itu didapatkan dengan asumsi jika laju itu stabil. Sebab, tidak dapat dipungkiri masih begitu banyak area-area yang tidak terpantau.
“Misalnya, masifnya penanaman nilam beberapa tahun terakhir dimana petani nilam di empat kabupaten, yaitu Mamasa, Polewali Mandar, Majene, dan Mamuju melakukan pembukaan lahan secara besar-besaran,” kata Asnawi.
Belum lagi alih fungsi lahan sebagai komplek hunian, beberapa area bukit diratakan dengan dalih demi pemenuhan hunian. Asnawi mengemukakan, perataan perbukitan ini marak di Mamuju, bahkan tidak jauh dari Kantor Gubernur Sulbar.
Ditanya kabupaten mana di Sulbar yang kehilangan hutan paling banyak tiap tahun, Asnawi dengan tegas menjawab semua.
“Faktor hilangnya juga karena kebijakan pemerintah sendiri terkait alih fungsi lahan tersebut, misalnya penanaman jagung, tambang, sawit, dan lain-lain. Belum lagi dapat kabar pulau Sulawesi secara keseluruhan dapat program penanaman sawit 1 juta hektar. Sulbar kalau tidak salah dapat jatah hampir 200 ribu hektar, yang pastinya akan kembali mengubah hutan menjadi lahan sawit,” sebut Asnawi.
Dengan laju deforestasi hutan yang semakin masif, yang harus diwaspadai kedepannya menurut Asnawi adalah hancurnya ketahanan ekologis, ketahanan pangan, ketahanan air, dan keselamatan manusia itu sendiri.
“Dalam dua tahun terakhir, intensitas banjir, banjir bandang, dan longsor di berbagai daerah di Sulbar meningkat. Dari Majene yang dikenal rawan longsor, hingga Mamasa dan Polewali Mandar, semua menunjukkan pola yang sama: hilangnya tutupan vegetasi di hulu sungai membuat hujan sedikit saja sudah cukup memicu bencana. Data kejadian banjir besar tahun 2017, 2019, 2021, dan 2023 sebenarnya telah menjadi alarm keras,” ucap Asnawi.
WALHI menemukan sejumlah area kritis, baik akibat aktivitas tambang galian C, pembukaan kebun sawit, maupun pembangunan kawasan pemukiman, yang menjadi titik rawan longsor baru.
Banyak dari kerusakan itu terjadi karena izin dikeluarkan tanpa kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan, atau bahkan tanpa Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sebagai dokumen wajib dalam setiap revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
“Tanpa hutan, tanah kehilangan struktur, sungai kehilangan daya tampung, dan masyarakat kehilangan perlindungan alami dari bencana,” tukas Asnawi.
Dalam pengamatan WALHI Sulbar bersama jaringan komunitas, sejumlah mata air di semua kabupaten menunjukkan penurunan debit yang signifikan, terutama di musim kemarau.
Petani harus menunda musim tanam, sementara masyarakat desa mulai terpaksa membeli air bersih, sebuah ironi mengingat Sulbar adalah wilayah dengan banyak gunung dan hutan.
Krisis air ini, lanjut Asnawi, hanya satu bagian dari persoalan yang lebih besar: ancaman terhadap ketahanan pangan. Lahan pertanian yang tergerus, sedimentasi yang meningkat di sawah, hingga tanah yang kehilangan unsur hara akibat deforestasi, semuanya membuat produksi pangan lokal menurun.
Impor pangan dari luar provinsi semakin meningkat. Padahal, ketahanan pangan adalah pilar kemandirian sebuah daerah.
“Ketika hutan terus ditebang, kita sedang mempercepat krisis air dan krisis pangan sekaligus. Dan krisis pangan berarti krisis sosial,” beber Asnawi.
WALHI Sulbar berpendapat, masalah utama yang mendasari semakin masifnya deforestasi hutan adalah izin tambang yang terlalu mudah keluar, alih fungsi lahan besar-besaran untuk perumahan komersial, kebun sawit yang meluas tanpa kontrol ketat, revisi RTRW yang menghilangkan fungsi lindung kawasan tanpa dasar ilmiah, dan lemahnya pengawasan di tingkat kabupaten dan provinsi.
Untuk itu, WALHI Sulbar mendesak pemerintah provinsi dan kabupaten untuk moratorium pembukaan total hutan dan izin baru, audit izin secara menyeluruh, memperkuat Wilayah Kelola Rakyat (WKR), mewajibkan KLHS dan Kajian Daya Dukung-Daya Tampung, pemulihan ekosistem yang rusak, pembangunan ekonomi hijau berbasis komunitas, serta hutan yang harus dipertahankan. (ilm)
