
Penulis : Suriani.
(Demisioner Ketua BEM FKIP Universitas Sulawesi Barat)
Tahun 2017 semestinya menjadi tonggak penting pembangunan Universitas Sulawesi Barat (Unsulbar). Kala itu, Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf Kalla (JK), secara langsung memanggil Gubernur Sulbar, Anwar Adnan Saleh (AAS) dan Rektor Unsulbar,Dr. Ir. Akhsan djalaluddin ke Jakarta untuk membicarakan hal yang sangat strategis, pembangunan kampus baru Unsulbar.
Dalam pertemuan itu, diberitakan bahwa APBD Provinsi Sulawesi Barat menggelontorkan dana sebesar Rp25 miliar. Ini belum termasuk dana dari APBN serta kontribusi dari Pemda kabupaten yang diharapkan mendukung penuh pembangunan ini.
Lebih jauh lagi, JK secara tegas menyerukan agar perusahaan-perusahaan swasta yang beroperasi di Sulbar ikut terlibat dalam pembangunan pendidikan, terutama dalam mendukung sarana kampus Unsulbar yang menjadi pusat pengembangan SDM lokal.
Namun, delapan tahun berlalu, dan sayangnya, pembangunan yang dijanjikan itu seperti berjalan di tempat. Bahkan baru-baru ini, publik dikejutkan oleh peristiwa yang memilukan dan menyayat nurani: seorang dosen muda mengalami keguguran setelah berkali-kali melintasi jalan rusak menuju kampus.
Jalan yang dimaksud adalah akses utama sepanjang tiga kilometer di Kelurahan Lembang, Kecamatan Banggae Timur, Majene—akses yang masih berlubang, tergenang, dan berbahaya.
Alih-alih diperhatikan pemerintah, akses itu justru diperbaiki dengan cara gotong royong oleh civitas akademika Unsulbar sendiri. Mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan turun langsung membawa batu dan sekop, memperbaiki jalan dengan dana seadanya. Inikah wajah kampus negeri yang disebut sebagai investasi pendidikan masa depan?
Kami, sebagai bagian dari mahasiswa Unsulbar yang pernah memimpin organisasi kampus, menyayangkan sekaligus mempertanyakan:
- Di mana transparansi penggunaan anggaran Rp25 miliar dari APBD Provinsi 2017?
- Apa wujud kontribusi Pemda dan perusahaan-perusahaan swasta yang katanya peduli?
- Mengapa akses utama kampus masih dibiarkan rusak dan menelan korban?
Padahal, media kampus Karakter Unsulbar pernah secara konsisten mempublikasikan dinamika pembangunan ini. Sayangnya, sorotan itu tidak pernah benar-benar direspons dengan serius oleh para pemegang kebijakan.
Kami tidak anti pembangunan. Tapi kami menolak pembangunan yang dibungkus diam dan ketidakjujuran. Sebab apa artinya ratusan miliar rupiah digelontorkan bila akses ke kampus saja harus diperjuangkan dengan tenaga dan nyawa?
Universitas ini milik rakyat Sulawesi Barat. Maka sudah sepantasnya seluruh lapisan masyarakat, mulai dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, sampai pihak swasta, diminta pertanggungjawaban moral dan administratifnya.
Jika hari ini kampus masih harus memperbaiki jalan dengan cara gotong royong, maka patut kita bertanya: pembangunan macam apa yang sebenarnya sedang dijalankan?
Sulbar butuh kampus yang dibangun dengan kesungguhan, bukan dengan janji. (*)