Dalam kesempatan kali ini penulis pertama-tama tentu harus menjelaskan apa itu dialektika. Memang penulis akui bahwa menjelaskan suatu pemikiran filsafat cukup sulit. Selain itu perlu hati-hati dalam memilih contoh. Tidak mudah memahamkan orang untuk memahami hasil pemikiran seorang filsuf (pemikir).
Tesis, antitesis, lalu mencapai sintesis, itulah dialektika. Tesis ialah suatu kenyataan yang melahirkan kontradiksi dari dirinya sendiri. Kontradiksi yang dilahirkannya inilah disebut sebagai antitesis. Dan seiring berjalannya waktu, tesis dan antitesis ini melebur kembali. Pada saat terjadinya peleburan antara tesis dan antitesis, maka itulah yang dinamakan sintesis.
Dialektika adalah teori besar dari seorang filsuf idealis bernama lengkap Georg Wilhelm Friedrich Hegel. Filsuf besar yang sangat dipengaruhi olehnya ialah Karl Marx.
Perumpamaan Hegel sendiri tentang apa yang dimaksud dialektika itu adalah Allah sebagai tesis, kesepian dalam kesendiriannya. Dia merasa tak kenal diri dan tak menyadari pula bahwa ia adalah suatu kenyataan.
Dia lalu menciptakan alam semesta dan dengannya dia menyadari alam ialah kenyataan. Dia pun mulai menyadari bahwa dirinya sadar. Akan tetapi ia juga menyangsi terhadap dirinya sendiri bahwa ia adalah pencipta alam karena alam telah otonom darinya. Alam dapat berjalan sendiri dengan sistem-sistemnya yang terlepas dari campur tangan Allah. Alam menyangkal apabila dikatakan ia diciptakan oleh Allah.
Begitulah, alam yang berasal dari Allah, menyangkal bahwa ia berasal dari Allah. Dengan kata lain, alam adalah antitesis terhadap Allah.
Namun demikian dalam perjalanan sejarahnya, dengan kehadiran manusia, Allah dan alam telah didamaikan alias melebur kembali.
Melalui akalnya, manusia telah mendamaikan pertentangan antara Allah dan alam semesta. Manusialah, dalam perenungannya mampu mendamaikan keduanya. Dengan akalnya manusia mengakui bahwa alam berasal dari Allah. Artinya, Allah dan alam semesta bersintesis dalam akal manusia.
Lalu apa yang dimaksud dialektika partai politik?
Penulis melihat model partai politik di negeri ini sudah terasing dari rakyat. Hal ini tentu saja ironis sebab partai politik seharusnya tidak terlepas dari rakyat selaku pihak utama yang menciptakan partai politik. Setelah dibuat oleh sekumpulan rakyat yang bersatu dalam suatu kepentingan atau ideologi, partai politik seolah berdiri sendiri alias terlepas dari pihak yang membentuknya.
Sebagaimana kita lihat, partai politik (parpol) justru cenderung menjadi antitesis bagi rakyat. Parpol menampilkan diri hanya sebagai sosok seseorang yang memperjuangkan kepentingan pribadi. Kita bisa melihat dengan jelas, Partai Amanat Nasional (PAN) serta Gerindra (Gerakan Indonesia Raya) yang berhaluan kebangsaan menjelma menjadi parpol yang berhaluan agamis.
PAN dan Gerindra sudah tidak mewakili lagi kepentingan rakyat tapi mewakili kepentingan pribadi dalam sosok Amin Rais dan Prabowo Subianto untuk meraih kekuasaan dari tangan Jokowi.
Dengan demikian, rakyat sebagai pembuat parpol dinegasi atau disangkal oleh parpol itu sendiri. Parpol telah berdiri sendiri alias otonom dari rakyat.
Pertanyaannya kemudian, kapankah rakyat dan parpol mengalami rekonsiliasi atau melebur kembali ? Jawabannya ialah pada momen pemilihan umum digelar !
Penulis melihat terjadinya sesuatu secara alami, yakni bersatunya kembali antara rakyat dan parpol dalam momen pemilihan umum. Oknum-oknum petinggi parpol turun ke lapangan menemui rakyat yang dulu dikumpulkan KTP-nya untuk membuat parpol tersebut. Dan rakyat pun kembali dibuat luluh hatinya oleh mereka dan sekaligus bersedia memilih mereka.
Itulah momen dimana antara rakyat dan parpol mengalami rekonsiliasi atau peleburan yang telah lama saling menegasi.(*)