
Kakak H, Niar (kiri) saat memberikan keterangan kepada awak media.
Polewali Mandar, mandarnews.com – Terpidana kasus asusila di Polewali Mandar berinisial H mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi usai menerima vonis hukuman 12 tahun penjara.
Menurut kakak H yang bernama Niar, langkah tersebut ditempuh sebab dirinya yakin adiknya tidak bersalah dalam kasus yang melibatkan seorang anak berinisial F (8) yang juga tetangga H sekaligus teman bermain anaknya.
“Kami tidak tahu alasan adik saya dijadikan tersangka. Banyak sekali kejanggalan dalam kasus ini, bagaimana keluarga tidak menjerit?” ujar Niar kepada awak media di kawasan Sport Center Polewali, Selasa (23/9/2025).
Awalnya, Niar berkisah, ketika F ditanya oleh orang tuanya kenapa jalan mengangkang, F menjawab jatuh dari sepeda. Sepekan kemudian, F ke rumah tantenya di Kecamatan Matakali. Tantenya pun bertanya alasan F jalan mengangkang, ketika ibunya menjawab jatuh dari sepeda, si tante malah bilang kalau hal itu bukan disebabkan oleh jatuh dari sepeda, melainkan karena selaput yang robek akibat malam pertama.
Di hari kejadian, tanggal 10 Januari 2025, F bermain di rumah H ketika H sedang mencuci ari-ari anaknya yang baru lahir untuk kemudian siap-siap salat Jumat. Dia mengaku melihat F bermain di rumahnya, tapi tidak memerhatikan secara saksama karena sibuk bolak-balik Puskesmas dan rumahnya.
Tindakan tercela itu sendiri, menurut pengakuan F, dilakukan di ruang tamu dan disaksikan langsung oleh anak H yang berinisial I.
Niar menceritakan, polisi menjadikan H sebagai tersangka setelah sebelumnya dipanggil menjadi saksi pertama kali pada tanggal 31 Januari 2025 tanpa menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sehingga keluarga tidak mengetahui kasus apa yang menjerat H dan apa isi laporannya.
“Kami meminta bukti yang digunakan polisi untuk menjadikan H tersangka, namun polisi tidak memberikan. Akhirnya, kami menempuh jalan satu-satunya, yaitu pra peradilan pada bulan April untuk mengajukan beberapa kesalahan prosedur polisi dalam penanganan kasus dengan menyewa pengacara yang dibayar dari uang donasi yang dikumpulkan teman-teman,” kata Niar.
Dari pra peradilan tersebut, barulah keluarga mengetahui kasus yang menimpa H adalah tindakan asusila terhadap anak. H pun mendapat SPDP setelah dirinya ditetapkan menjadi tersangka. Namun, upaya tersebut ditolak oleh Ketua PN Polewali.
Ketika diserahkan ke kejaksaan, tambah Niar, berkas H tidak diperiksa karena jaksa menilainya lengkap karena telah melalui proses pra peradilan. Saat menemui jaksa untuk meminta izin menemui H sekaligus meminta agar jaksa menganalisis kasus tersebut dengan baik karena sebelumnya hanya menyoroti prosedur tersangka, Niar merasa diintimidasi dan sakit hati dengan jaksa yang memberitahu keluarga untuk mencari pengacara terkuat karena jaksa berencana menuntut H dengan vonis maksimal 15 tahun dan berjanji akan meminta hukuman 5 tahun jika H mengakui melakukan itu.
“Saya bilang, bagaimana adik saya mau mengaku kalau tidak pernah melakukan, tapi saya akan coba bujuk adik saya. Saya ketemu H dan bilang ada negosiasi dari jaksa, H menolak dan bilang biarlah membusuk di penjara daripada mengakui hal yang tidak dilakukan. H juga menantang pelapor untuk melakukan sumpah di atas sumpah,” ucap Niar.
Dirinya menyampaikan, hasil visum diperlihatkan setelah pra peradilan, tapi salinannya tidak bisa dimiliki. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pun baru bisa diperbanyak setelah proses pengadilan berjalan.
Berdasarkan hasil visum, ditemukan luka robek searah jarum jam yang terkesan luka lama, sperma negatif, DNA negatif, dan ahli tidak bisa memastikan luka robek itu disebabkan oleh persetubuhan atau kecelakaan sepeda.
Selain itu, dalam barang bukti berupa pakaian F yang disita polisi, tidak ditemukan apapun, seperti cairan, DNA, bahkan sidik jari, sedangkan F bilang bahwa H membuka pakaiannya.
Kejanggalan lainnya menurut Niar adalah tidak pernah dilakukannya rekonstruksi ulang selama penyelidikan kasus dan dikatakan bahwa persetubuhan itu dilakukan dengan kehadiran orang lain di ruangan lain.
“Bukti satu-satunya polisi adalah hasil visum, sedangkan hasilnya sendiri menyatakan robeknya selaput dara tidak bisa dipastikan hasil persetubuhan,” tukas Niar.
Keluarga, beber Niar, membawa saksi di pengadilan yang melihat bahwa F ini jatuh dari sepeda dengan posisi satu kaki di sepeda dan kaki lainnya di selokan, ada juga saksi alibi dua orang yang bersama H ketika persetubuhan disebut terjadi. Tapi, semuanya dikesampingkan oleh hakim.
Ketika sidang dengan agenda pembuktian dilakukan, F tidak mau masuk ke pengadilan dengan alasan trauma, akhirnya sidang ditunda sepekan dan F akan diambil keterangannya melalui Zoom karena berada di Makassar.
“Ketika Zoom, F malah terlihat ceria dan menjawab pertanyaan dengan senyum malu-malu, tidak terlihat seperti orang trauma. Selain itu, keterangan psikolog yang menyebutkan F trauma kontradiktif dengan ahli visum yang mengatakan saat diperiksa F tidak mengalami trauma,” ungkap Niar.
Dalam sidang, ibu F mengemukakan bahwa F mengaku telah disetubuhi oleh H dan menyuruh ibunya bertanya ke I jika ingin mengetahui ceritanya.
“Setelah ibu F melapor tanggal 17 Januari 2025, polisi langsung mendatangi I. Di BAP anak H tidak menyebutkan ada persetubuhan, hanya mengatakan bahwa ia dan F hanya bermain bersama,” imbuh Niar.
Dirinya berharap, kebenaran kasus ini bisa terkuak dalam banding nanti. (ilm)