Pengaruh Media Sosial Terhadap Persepsi Publik Terhadap Politik
Di sinilah media sosial memainkan peran penting. Dulu, jika Anda ingin mengkritik pemerintah, mungkin harus menulis surat ke redaksi, berharap surat Anda diterbitkan. Tapi kini, cukup satu klik di ponsel, dan tiba-tiba, Anda punya kekuatan yang sama dengan jurnalis berpengalaman: Anda bisa menyebarkan “fakta” versi Anda ke seluruh dunia. Benar atau tidak, itu urusan belakangan. Menurut Ralph Keyes, di era post-truth, kebenaran bisa diciptakan. Asalkan postingan Anda cukup kontroversial, maka itu bisa jadi “benar” di mata banyak orang.
Contoh nyata? Lihat saja bagaimana isu politik di media sosial selama kampanye pilpres. Satu pihak menyebarkan isu bahwa kandidat tertentu adalah antek asing, sementara pihak lain membalas dengan tuduhan bahwa kandidat lawan adalah boneka oligarki. Dan lucunya, semua tuduhan ini sering kali diterima mentah-mentah oleh sebagian besar publik, tanpa verifikasi.
Efeknya? Persepsi publik terhadap politik semakin terdistorsi. Orang lebih percaya pada apa yang dikatakan influencer di Instagram ketimbang jurnalis di koran. Bahkan, meme-meme yang dibuat asal-asalan bisa lebih dipercaya daripada laporan investigasi yang dikerjakan berbulan-bulan. Media sosial telah menciptakan ilusi bahwa semua orang punya kebenaran masing-masing, dan semua kebenaran itu valid, terlepas dari fakta yang sesungguhnya.
Cerita Nyata: Ketika “BuzzeRp” Menguasai Percakapan
Mari kita lihat contoh nyata di Indonesia. Seorang politisi terkenal pernah mengeluhkan maraknya fenomena “BuzzeRp,” alias buzzer berbayar yang digunakan untuk menyebarkan opini tertentu di media sosial.
Tugas mereka sederhana: meramaikan lini masa dengan narasi yang menguntungkan klien mereka, sambil menyerang lawan dengan komentar-komentar pedas. Hasilnya? Dalam hitungan jam, opini publik bisa diubah. Apa yang tadinya dianggap benar, bisa disulap menjadi salah, dan sebaliknya.
Suatu kali, seorang buzzer terkenal di Jakarta mendapat tugas untuk menyebarkan informasi palsu tentang seorang politisi yang menjadi rival kliennya. Dalam waktu kurang dari 24 jam, ribuan orang percaya bahwa politisi tersebut adalah agen rahasia dari negara asing.
Media sosial meledak, berita palsu menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, dan sang politisi harus berjuang keras untuk memulihkan nama baiknya. Inilah kekuatan media sosial di era post-truth: kebenaran bisa kalah hanya dalam hitungan menit.
Jurnalisme, Tetap Berdiri Teguh atau Tergoda?
Dalam dunia yang semakin sulit membedakan antara fakta dan fiksi, jurnalis menghadapi tantangan terbesar mereka. Mereka harus melawan narasi palsu yang disebarkan oleh media sosial, memerangi polarisasi politik yang memecah belah masyarakat, dan menjaga integritas di tengah godaan untuk mengikuti arus opini publik yang lebih menarik klik daripada kebenaran.
Tetapi seperti yang dikatakan oleh Merlyna Lim, kebebasan untuk menyebarkan kebencian di media sosial hanya akan menciptakan suku-suku algoritmik yang semakin memperparah perpecahan.
Maka, di tengah badai ini, pertanyaannya adalah: Apakah jurnalisme akan tetap berdiri teguh sebagai pilar kebenaran, ataukah akan terjerumus menjadi pelayan kepentingan politik yang hanya peduli pada keuntungan jangka pendek? Masa depan demokrasi yang kita pertaruhkan mungkin bergantung pada jawaban atas pertanyaan ini.
Dan kita, sebagai pembaca, juga punya peran. Mungkin sudah saatnya kita berhenti menjadi “pemakan emosi” dan kembali menghargai fakta—karena di era post-truth, hanya dengan kebenaran kita bisa selamat dari tsunami kebohongan.(*)
Rujukan:
Keyes, R. (2004). The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life. St. Martin’s Press.
Lim, M. (2017). “Freedom to Hate: Social Media, Algorithmic Enclaves, and the Rise of Tribal Nationalism in Indonesia.”Critical Asian Studies.