Dosen Hukum Universitas Sulawesi Barat, S.Muchtadin Al Attas,S.H.,M.H
Majene, mandarnews.com – Penundaan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) Serentak tahun 2023 untuk 43 desa di Kabupaten Majene, Sulawesi Barat terus menuai persoalan.
Hal ini terjadi karena Pemerintah Kabupaten Majene melakukan penundaan Pilkades dengan hanya mengeluarkan surat pernyataan yang dinilai tidak berkekuatan hukum.
Apalagi sebelumnya, Pemkab Majene telah mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 4 tahun 2023 tentang Pemilihan Kepala Desa Serentak. Yang dimana pada Perbup tersebut jelas sudah tertuang pada uraian kegiatan bahwa tahapan Pelaksanaan Pilkades dalam hal ini tahapan Persiapan untuk Sosialisasi Pilkades (Pemberitahuan Jadwal Pilkades) harusnya sudah dilaksanakan 28 Mei 2023.
Dosen Hukum Universitas Sulawesi Barat, S.Muchtadin Al Attas,S.H.,M.H mengatakan bahwa tindakan Pemkab Majene yang menghentikan tahapan untuk pelaksanaan Pilkades Serentak 2023 dinilai tindakan atau Perbuatan Melawan Hukum Pemerintah atau Onrechtmatige Overheidsdaad.
Hal ini terjadi karena Pemkab Majene tidak menjalankan aturan yang berlaku yakni Perbup No. 4 tahun 2023 tentang Pelaksanaan Pilkades Serentak.
” Pemerintah Daerah seharusnya tidak boleh langsung berhenti di tengah jalan. Sebab aturan yang ada dalam hal ini Perbup No. 4 Tahun 2023 masih berlaku. Jadi aturan yang ada dulu yang harus dipedomani dan dijalankan. Pemda wajib untuk mengikuti aturan yang ada, termasuk menjalankan tahapan yang telah diatur. Nanti setelah keluar hasil perubahan Perbup atau Perbup resmi dicabut dan ada Perbup yang baru, baru itu yang dijalankan,” jelas S.Muchtadin, yang dikonfirmasi, Sabtu (10/6/23).
Ia pun heran melihat Perbup yang baru saja dikeluarkan oleh Pemerintah justru dalam waktu yang singkat mau dianulir.
“Kami juga tidak habis pikir bagaimana mungkin sekelas surat pernyataan itu bisa menghentikan konsekuensi Hukum dari Perbup. Karena Perbup bisa tidak dilaksanakan jika ada Perbup yang baru yang kemudian dikeluarkan untuk menghentikan. Tapi tahapan harus dilaksanakan dulu, nanti keluar Perbup yang baru, lalu berhenti. Karena keduanya harus seimbang. Masing-masing harus Regeling. Tidak boleh dihentikan dengan Beschikking (keputusan). Dan keputusan kepala daerah itu adalah sifatnya keputusan tata usaha negara. Sehingga tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan salah satunya adalah Perbup,” tandasnya.
Muchtadin juga menambahkan harusnya Pemkab Majene dalam mengambil tindakan atau keputusan melakukan konsultasi dengan DPRD, meskipun konsultasi tidak bersifat mengikat. Tapi itu bagian dari pada perangkat daerah.
“Konsekuensinya kan bahwa DPR itu punya fungsi pengawasan dan budgeting. Jangan sampai kita langsung melakukan penundaan atau pelaksanaan, tapi DPRD tidak mengiyakan terkait budgeting,” pungkas Dosen Hukum Unsulbar tersebut.
Terkait konsekuensi hukum, Muchtadin menyampaikan bahwa dalam konteks hukum, bisa dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan Hukum.
“Ada dua batu ujinya, bisa diuji secara administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara. Atau jika perbuatannya merugikan orang per orang (individu atau private) itu bisa ke Pengadilan Negeri. Tapi yang terjadinya saat ini kan ranah publik sehingga harusnya diuji di PTUN. Hal ini juga bisa diuji melalui pelayanan publik, meskipun bukan sanksi tapi rekomendasi melalui Ombudsman. Harusnya Ombudsman mulai bergerak dengan adanya isu ini meskipun tanpa ada laporan. Ombudsman harus berinisiatif karena ini menjadi isu publik. Sebab berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan publik, pelayanan administrasi dan seterusnya. Jelas-jelas kita bisa tahu dengan Perbup saja harusnya sudah ada Sosialisasi Pilkades dan Pembentukan PPKD dan Panwas,” tandasnya kembali.
Ia pun memberi contoh dimana Pemkab Majene bisa melihat pada pelaksanaan Pilkada 2020, dimana saat itu telah keluar aturan bahwa Pilkada dilaksanakan September 2020 dan tahapan dijalankan. Nanti keluar aturan baru bahwa Pilkada ditunda dan dilaksanakan Desember 2020 lalu kemudian itu diikuti.
(Mutawakkir Saputra)