Suasana warga yang ada di pengungsian kawasan Sport Center Majene, Jumat (29/1/2021)
Majene, mandarnews.com – Dua Minggu pasca gempa bumi dengan magnitudo 6,2 yang mengguncang Sulawesi Barat khususnya di Kabupaten Majene dan Mamuju telah menyisakan duka dan trauma mendalam bagi para korban.
Dampak gempa yang begitu dahsyat, masih terngiang-ngiang dipikiran para korban. Sebab, tidak hanya memporak – porandakan rumah, gedung besar dan tanah longsor tapi juga telah banyak menelan korban jiwa.
Jelas, dengan kekuatan gempa bumi yang begitu besar warga masih khawatir adanya gempa susulan yang bisa saja berdampak lebih parah dari sebelumnya, utamanya antisipasi tsunami.
Dengan demikian, tepat dua minggu pasca gempa bumi yang melanda Sulbar, terlihat sebagian warga masih tetap memilih bertahan di lokasi pengungsian.
Salah satu contohnya, para pengungsi yang ada di Sport Center Majene, Kelurahan Rangas, Kecamatan Banggae, Majene.
Di Sport Center Majene, masih banyak terlihat warga yang memilih bertahan di tenda pengungsian. Jika dihitung, kurang lebih masih ada 50 tenda yang terpasang di sekitar kawan lapangan bola tersebut.
Salah satu warga pengungsi Arman (31), warga Lingkungan Rangas Barat, Kel. Rangas, Banggae, Majene mengaku ia masih memilih bertahan di pengungsian bersama keluarga sampai kondisi dan situasi betul – betul aman.
Menurutnya, selain ia bersama keluarga, masih banyak warga Rangas Barat lainnya yang masih memilih juga bertahan di pengungsian.
“Kebanyakan disini warga Rangas Barat. Kami khawatir terjadi gempa susulan, kami mau bertahan hingga kondisi betul – betul aman dan pemerintah setempat meminta kami kembali ke rumah,” ucap Arman, saat ditemui langsung ke pengungsian, Jumat (29/1).
Lanjutnya, pengungsi yang didominasi oleh warga Rangas Barat di pengungsian bukan tanpa sebab. Tapi melainkan, lokasi rumah warga Rangas Barat yang berada di pesisir pantai Rangas, menjadi alasan mengapa mempunyai rasa kekhawatiran yang mendalam.
“Sebenarnya ini bukan masalah bantuan pak. Tapi kami betul – betul khawatir jika terjadi gempa susulan yang lebih dahsyat apalagi sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mengingat lokasi kami tinggal tepat berada di pesisir dan jarak kami jauh dari ketinggian,” jelas Arman.
Bahkan salah satu warga lainnya seorang ibu – ibu menegaskan, jika kalau hanya masalah bantuan ia tidak masalah. “Kalau bantuan yang kami cari jelas bukan. Waktu gempa Aceh saja yang mengakibatkan tsunami kami mengungsi, dan disitu tidak ada bantuan,” tandas salah seorang pengungsi.
Beberapa warga lainnya juga mengatakan hal yang sama. Menurut mereka, tetap bertahan hidup di pengungsian bukanlah tanpa sebab. “Kami punya rumah, kami juga masih punya bahan pangan di rumah, makanan yang kami makan pun sangat jauh lebih baik di rumah dibanding dengan di pengungsian. Jadi bukan karena ingin bantuan kami bertahan, tapi merni kekhawatiran,” ucap warga.
Tidak hanya, Arman dan warga lainnya yang masih memilih bertahan hidup di pengungsian karena kekhawatiran. Hal sama juga dipilih Naharuddin, warga Rangas yang juga bermukim di dekat pantai.
Bapak yang memiliki anak 7 yang masih kecil – kecil tersebut memilih bertahan di tenda pengungsian.
“Saya punya rumah di dekat dari pantai. Kalau terjadi gempa jelas akan repot nantinya karena yang punya anak 7. Otomatis kita akan bingung evakuasi. Belum lagi jarak rumah dari tempat ketinggian jauh, jika ditempuh dengan jalan kaki,” tandasnya.
Makanya, kami lebih baik mengungsi sampai situasi betul – betul aman dan pemerintah betul meminta kami untuk kembali ke rumah.
“Secara langsung kami juga belum mendapat arahan dari pemerintah daerah tentang imbauan untuk pulang ke rumah. Makanya kami juga sejauh ini masih bertahan,” sebut warga.
Para warga juga mengakui, jika bantuan yang bersumber dari Pemerintah pun sangat sedikit. Mereka lebih memilih bantuan yang diantar langsung para relawan, atau komunitas – komunitas yang ikut meringankan beban mereka.
“Kalau dari Pemerintah sedikit. Bantuan dan berasnya saja tidak seberapa dalam satu tenda. Sementara dalam satu tenda kami ada 2 sampai 5 Kepala Keluarga (KK). Yang bagus itu para relawan yang mengantar langsung, karena isinya lengkap,” ujar para Warga.
Para warga berharap, bantuan betul – betul tersalur dengan baik. Agar kesulitan warga di pengungsian dapat diminimalisir. Sebab mereka menyebutkan, ketersediaan pangan pun terbatas.
“Kalau bahan makanan sebenarnya tidak cukup. Tapi kami cukup – cukupi. Belum lagi para laki – laki atau suami belum bekerja karena kekhawatiran gempa dan angin kencang, karena rata – rata mereka bekerja sebagai nelayan,” ujar warga.
Diketahui saat siang hari, ada yang kembali ke rumah untuk sementara, bekerja nanti setelah petang baru kembali ke pengungsian. Karena untuk tidur menetap di rumah masih takut.
Warga juga beruntung, karena dekat pengungsian ada saja yang mereka tempati untuk mengambil air bersih untuk kebutuhan sehari – hari di pengungsian. Dan ada juga yang kembali ke rumah hanya untuk mengambil air dan mandi atau memasak. Sementara warga yang telah membawa perlengkapan alat masak di pengungsian memilih memasak di pengungsian.
(Mutawakkir Saputra)