
Kasi Humas Polres Polewali Mandar, Iptu Muhapris.
Polewali Mandar, mandarnews.com – Kasus dugaan perundungan yang terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Balanipa dilaporkan ke Kepolisian Resor (Polres) Polewali Mandar, Kamis (16/10/2025).
Aksi yang diduga perundungan tersebut terekam dalam video yang akhirnya viral di media sosial dan membuat kasus ini mencuat ke publik.
Korban bersama keluarganya pun melapor ke pihak kepolisian setelah videonya disebarkan.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat (Kasi Humas) Polres Polman, Iptu Muhapris, menyampaikan jika berdasarkan keterangan awal, peristiwa terjadi pada Jumat (10/10/2025) sekitar pukul 07.00 WITA di depan ruang kelas XI Busana SMKN Balanipa.
“Saat itu, para siswa sedang mengikuti kegiatan lomba kebersihan kelas. Korban berinisial ANA (17), baru saja selesai menyapu dan mengumpulkan sampah,” ujar Iptu Muhapris dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi.
Iptu Muhapris menerangkan, ketika ANA hendak membuang sampah, dua siswi lain berinisial SA (17) dan SK (16) diduga menegur korban dengan nada keras. Adu mulut pun terjadi hingga berujung pada tindakan kekerasan.
“SA diduga mendorong kepala korban, disusul SK yang memukul dan menendang korban sambil melontarkan kata-kata kasar. Aksi itu akhirnya dilerai oleh sejumlah teman sekelas korban,” kata Iptu Muhapris.
Salah satu siswi, FN (15), sempat merekam kejadian tersebut dengan maksud untuk melaporkannya kepada guru Bimbingan Konseling (BK).
Namun, karena takut terhadap salah satu pelaku, FN belum sempat melapor hingga akhirnya video itu beredar di kalangan siswa hingga viral di media sosial.
Merespons kasus dugaan perundungan tersebut, aktivis perlindungan anak, Dwi Bintang Fajar, menyebutkan kalau apapun dalihnya, tindakan merundung tidak dapat diterima, terutama dalam dunia pendidikan.
“Tapi, perlu diingat bahwa baik korban maupun pelaku masih sama-sama berstatus pelajar dan anak. Jadi, keduanya membutuhkan pendampingan yang intensif, baik dari keluarga dan pihak yang berwenang,” ucap Dwi ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp.
Dwi menuturkan, penyelesaian kasus harus diserahkan pada pihak yang berwajib, tetapi pihak sekolah dan orang tua harus aktif dalam proses tersebut.
“Satu catatan buat semua sekolah yang ada, aktifkan BK sebagai ruang speak up untuk para peserta didik guna mencegah kasus serupa terjadi. Jangan jadikan BK sebagai momok bagi siswa,” tukas Dwi.
Begitu mendengar kata BK, sudah otomatis siswa yang ke sana adalah siswa bermasalah. Hal ini, menurut Dwi, adalah pendapat yang kurang tepat karena semua siswa berhak mendapatkan bimbingan konseling.
Dwi menegaskan, dalam kasus ini, bukan hanya korban yang harus didampingi, melainkan juga pelaku.
“Sekarang pun pelaku perundungan tersebut sudah jadi bahan rundungan netizen dan warga sebagai dampak dari sanksi sosial yang dia terima, apalagi saya mendengar orangtuanya pun sudah melakukan tindakan hukuman fisik sebagaimana dikatakan di video klarifikasi yang beredar di medsos,” beber Dwi.
Sebagai aktivis perlindungan anak, Dwi mengemukakan bahwa sebagai netizen yang budiman, jangan menjadikan diri sendiri justru sebagai perundung dengan menghakimi secara berlebihan melalui kata-kata yang kurang baik di media sosial.
“Karena semua itu akan terus tersimpan dan kapan waktu bisa dilihat kembali sebagai jejak yang buruk. Kita tidak tahu kedepannya bagaimana hidup anak-anak berproses,” imbuh Dwi.
Oleh karena itu, sebisa mungkin yang diungkapkan oleh netizen adalah hal-hal positif sebagai acuan bahwa tidak akan ada lagi kasus serupa yang terjadi. (ilm)