Penulis: Fatmawati
Semoga engkau berkenan membaca tulisan ini, kumulai dari kalimat “Aku adalah seorang anak dan seorang perempuan yang tinggal di sebuah desa yang berjarak sekitar 60,6 kilometer dari Kota Majene”.
Aku perempuan yang sudah berkali-kali meninggalkan kotaku untuk mengadu nasib ke kampung seberang, namun aku juga adalah seorang perempuan yang memaksakan diri untuk kembali ke kota kelahiranku demi mewarnai jari telunjuknya dengan tinta merah sebagai bukti bahwa aku ikut memilih calon pemimpin di kotaku. Tentu saja dengan harapan agar kotaku semakin membaik di tangan pemimpin yang tepat.
Kulanjut lagi dengan kalimat “Terima kasih banyak”.
Terima kasih untuk semua pihak yang terkait dalam pengadaan Ruang Layanan Poli Jiwa di RSUD Majene dan saya putuskan hari ini bahwa tulisanku perihal keluh kesahku beberapa bulan yang lalu mengenai tidak tersedianya pelayanan poli jiwa ini saya tutup rapat-rapat.
Saya meneteskan air mata ketika membaca di media sosial bahwa pelayanan poli jiwa ini akhirnya diresmikan, tapi kuharap para tuan pemimpin di kotaku berkenan membaca ini sampai selesai.
Di Indonesia, penderita gangguan mental diidentikkan dengan sebutan orang gila atau sakit jiwa dan sampai saat ini banyak stigma-stigma negatif tentang ODGJ dan RSJ, termasuk pelayanan poli jiwa.
Orang akan merasa tidak nyaman bila berobat ke dokter jiwa. Hal ini di sebabkan karena prasangka dan stigma dari masyarakat terhadap orang-orang yang berobat ke dokter jiwa.
Masyarakat kita kebanyakan menganggap orang sakit jiwa berat alias gilalah yang datang ke dokter jiwa. Padahal, yang dianjurkan berobat itu adalah individu yang juga mengalami depresi, kecemasan, masalah pribadi dan sosial.
Secara umum, banyak faktor yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan mental, bisa stres akibat peristiwa traumatis, kekerasan, dan pelecehan seksual.
Berdasarkan Riset Dasar Dinas Kesehatan Seksi Penanggulangan Penyakit Tidak Menular Sulawesi Barat tahun 2021, sekitar 2.670 orang di Sulbar mengalami gangguan jiwa (ODGJ) dan di Majene terdata ODGJ berat berjumlah 239 orang dan hanya 218 orang penyintas gangguan mental yang mendapatkan layanan sesuai standar.
Semoga dengan pengadaan poli jiwa ini mampu meningkatkan pelayanan lebih terhadap ODGJ dan individu yang mengalami gangguan mental ringan lainnya.
Saya tahu betul bagaimana menjadi salah seorang anak dan sebagai seorang perempuan yang mengalami diskriminasi dan stigma dari masyarakat sekitar.
Beberapa bulan terakhir ini, saya baru saja menyatakan keluar dari cidera mental yang saya alami, dimana saya mengalami peristiwa traumatik dan menyebabkan saya menarik diri dari lingkungan sosial, lalu orang-orang di sekitarku mulai mengira bahwa aku mengalami gangguan jiwa, itu sangat menyakiti hati saya dan secara tidak langsung saya merasa mendapatkan diskriminasi di lingkungan tempat tinggal saya.
Padahal, saat itu saya masih sangat mampu menciptakan self stigma bahwa saya harus ke tenaga profesional untuk memeriksakan kesehatan mental, tapi karena stigma-stigma perihal orang yang berobat ke poli jiwa itu membuat saya tidak berani memeriksakan kondisi saat itu sebab saya khawatir disebut sebagai orang gila padahal gangguan kejiwaan dan mental bukanlah suatu kejahatan dan stigmatisasi ini harus dihentikan.
Beberapa bulan yang lalu, jujur ini adalah ungkapan kebenaran yang saya alami. Selama menarik diri dari lingkungan sosial karena peristiwa traumatik yang saya alami, saya tidak tau ke arah mana harus mengadu dan dengan cara apa harus berobat karena saat itu untuk mendapatkan pelayanan jiwa masih harus keluar daerah, lalu biaya berobat mental lumayan mahal, belum lagi saat itu saya belum memiliki BPJS Kesehatan.
Saya ataupun yang mungkin pernah mengalami kondisi seperti saya, sebenarnya kami hanya butuh konseling dan psikoterapi bicara, hanya itu saja, tapi di Majene ini saya belum menemukan ataukah mungkin saya masih kekurangan informasi mengenai pelayanan semacam ini.
Hingga akhirnya, keluarga saya kesulitan mencari bantuan dan saya merasa terisolasi dan tidak ada harapan. Benar adanya bahwa ketika seseorang menerima stigma dari masyarakat tentu akan sangat memengaruhi pikiran, tindakan, dan perilaku seseorang.
Memang benar sebagian kecil ODGJ memang berperilaku agresif ketika tidak mendapat penanganan tepat dan itu yang menyebabkan ODGJ lekat dengan kekerasan padahal tidak semua ODGJ itu berbahaya dan berpotensi melakukan kekerasan.
Ini mengenai pola pikir yang mengalami distorsi berat hingga pengendalian diri menjadi terganggu. Kabar baik tentang pengadaan pelayanan poli jiwa di RSUD Majene ini membuat saya menangis dan menyanjung begitu dalam atas hal kecil bagi sebagian orang tapi sangat luar biasa untuk saya dan beberapa orang yang mungkin mengalami hal yang sama dengan saya.
Meskipun saya kebingunan mencari bantuan beberapa bulan kemarin, meskipun saya menghabiskan tenaga untuk kembali bangkit hingga mampu menulis ini, meskipun berderai air mata saya menulis ini, saya selalu berharap tak ada yang senasib dengan saya dimana ada rasa kekhawatiran ketika harus berobat ke poli jiwa.
Ini bukan cerita yang dibuat-buat, butuh energi yang sangat banyak untuk kembali pulih tanpa bantuan medis, tanpa bantuan profesional. Saya melakukan self healing hanya dengan menonton beberapa edukasi pengobatan mental di YouTube dan proses penyembuhan itu benar-benar menyisakan kesedihan yang luar biasa, terutama bagi ibu saya yang saat itu satu-satunya menjadi support untuk kembali dalam keadaan ini.
Saya bersyukur, sedikit demi sedikit bisa menerima apa yang harus diperbaiki di diri saya. Tapi ini bukan hanya sekadar berbicara tentang hal yang saya alami, namun kekhawatiran jika ada yang senasib dengan saya lalu dibiarkan begitu saja maka besar kemungkinan justru memperparah kondisi mental seseorang.
Kita hanya perlu mengikis stigma dengan peningkatan kesadaran dan edukasi di masyarakat bahwa kesehatan jiwa dan mental itu berbeda.
Bukan hanya yang sakit mental berat alias gila yang menjadi pasien poli jiwa, tapi penderita gangguan mental ringan pun bisa mendapatkan akses pelayanan di sana. Karena itu, melalui tulisan ini saya berharap kepada para tuan pemimpin di kotaku untuk:
Pertama, sangat diperlukan layanan konseling yang nyata di setiap desa mengenai pentingnya perhatian terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa maupun mental karena tidak menutup kemungkinan masih ada beberapa ODGJ yang tak terdeteksi keberadaannya.
Kedua, semoga ada psiko edukasi tentang stigma pada orang dengan gangguan jiwa. Saya sangat berharap adanya keseimbangan edukasi, sosialisasi, dan peningkatan fasilitas kesehatan jiwa, khususnya di kotaku Majene.
Ketiga, saya harap pemerintah lembaga perlindungan perempuan dan anak bisa merangkul setiap lapisan masyarakat di desa karena mungkin saja ada begitu banyak kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual yang terjadi namun tidak terdeteksi keberadaannya disebabkan ada kekhawatiran ketika harus melapor.
Bukan hanya kekhawatiran, mungkin saja akses melakukan pengaduan masih sangat kabur di masyarakat dan pengetahuan perihal hukum atas kekerasan anak dan perempuan masih perlu dibekali, termasuk diri saya dan keluarga.
Salah satu faktor penyebab seseorang mengalami gangguan mental adalah mendapatkan perlakuan kasar dari keluarga sendiri maupun orang di sekitarnya, kekerasan, dan pelecehan seksual hingga manifestasinya berdampak pada si korban yang tidak mendapatkan bantuan hukum maupun pelayanan medis.
Melalui tulisan ini, esok atau lusa pemerintah di kotaku bisa segera menyosialisasikan perihal pelayanan poli jiwa, perihal perlindungan kekerasan terhadap anak dan perempuan yang menjadi salah satu faktor seseorang mengalami gangguan jiwa, dan agar ada lembaga khusus yang menjadi tempat mengadu atau konseling oleh para korban kekerasan maupun penyintas gangguan jiwa maupun mental ringan lainnya.
Ini perihal yang serius tentang generasi muda dan masa depan bangsa. Tulisan ini saya akhiri dengan kembali mengucapkan terima kasih, kini kotaku kusebut tangguh dan peduli terhadap penyintas ODGJ.
Saya akan berdiri di barisan paling depan mennggaungkan bahwa “gangguan kejiwaan bukan kejahatan, stigmatisasi ini harus dihentikan”. Karena, semakin sedikit stigma yang didapat maka semakin besar peluang kesembuhan ODGJ.
Selain hal itu, saya tutup tulisan ini dengan pernyataan bahwa budaya patriarki di masyarakat juga harus diperangi dengan peningkatan kesadaran karena kita semua berhak mendapatkan perlakuan yang sama.
Terima kasih banyak.
Saya menulis ini karena sudah beberapa kali mencoba menemui pejabat yang terlibat dalam hal pengadaan layanan poli jiwa ini, namun agak sulit bisa bertemu secara langsung. Semoga dengan tulisan ini bisa tersampaikan tentang hal yang memerangi otak saya beberapa bulan terakhir ini.