Lauk utama warga Majene adalah ikan. Namun setelah ditemukannya mayat yang diduga penumpang Air Asia QZ 8501, warga menjadi enggan makan ikan.
"Saya tidak mau dulu makan ikan, jijik karena siapa tahu ikan-ikan itu makan mayat," kata Rahmi warga Majene yang ditemui di Pasar Sentral Majene, Jumat 30 Januari 2015. Ia mengaku menggantikan ikan menjadi telur sebagai lauk utama.
Menurut penjual telur di Pasar Sentral Majene, Nyonya Ismail, pembeli telur cenderung meningkat setelah ada kabar penemuan mayat di perairan Majene.
"Biasanya pembeli lebih banyak beli satu atau dua butir, tapi sekarang rata-rata beli 10 butir sehari," ungkap Nyonya Ismail yang menjual telur dengan menjadikan mobil sebagai toko telur. Ia menjajakan telur di halaman depan pasar sentral Majene karena tidak kebagian los dalam pasar.
Kendati kebutuhan telur di Majene cenderung meningkat, tapi tidak berpengaruh kepada harga telur. Bahkan harga telur cenderung menurun setelah perayaan maulid.
Peneliti kelautan, Muhammad Ridawan Alimuddin, dikutip dari sirtus Arajang.com, mengatakan sebenarnya tidak perlu khawatir atau jijik untuk makan ikan hanya karena ada mayat ditemukan di perairan yang juga daerah penangkapan ikan.
Alasan pertama adalah tidak ada bukti ilmiah ikan “itu” terlihat memakan mayat. Jika memang jutaan ikan di laut gemar makan mayat, paling lama sepekan sudah tak ada lagi jenazah yang ditemukan sebab habis disantap ikan.
Kedua, ikan-ikan yang biasa dikonsumsi adalah ikan pelagik. Yaitu jenis ikan yang terus menerus bergerak di laut. Bukan ikan demersal (di dasar) atau ikan karang yang bisa berlama-lama di satu tempat (menahan untuk tidak berenang di tempat) karena memakan sesuatu.
Ikan yang biasa dimakan adalah tuna dan ikan layang. Jenis ikan tersebut dan ikan-ikan pelagis lainnya makanan utamanya adalah plankton, ikan kecil, krustasea (udang kecil), dan moluska.
Ikan-ikan tersebut oleh nelayan Mandar ditangkap dengan dua cara: dijaring dan pancing. Jika menggunakan jaring, operasinya di rumpon. Rumpon itu sejenis rakit yang dibawahnya dipasangi daun kelapa dan ditempatkan di laut dalam.
Rumpon yang telah lama dipasang akan “ditumbuhi” teritip dan lumut yang pada gilirannya ada banyak plankton di situ. Banyak plankton, ikan pelagis kecil datang ke situ dan pada gilirannya ikan pelagis besar datang juga.
Kalau ditangkap dengan pancing, umpannya itu benang berwarna-warni. Kadang digunakan ikan layang kecil atau “bulalia” hidup. Sebab hidup, ikan pelagis besar tertarik untuk makan.
Artinya, bangkai terapung itu tidak menarik perhatian ikan pelagis besar. Kecuali di mayat tersebut ada benda lain, misalnya baju terumbai-umbai, ditumbuhi teritip, terus ikan kecil-kecil di situ dan didatangi ikan besar. Tapi kan bukan itu yang terjadi. Mayat sampai “berlumut” untuk kemudian menjadi sarang tidak mungkin terjadi sebab akan terurai.
Ketiga adalah yang paling memungkinkan memakan jenazah adalah ikan hiu. Tapi kan kita di Sulawesi Barat jenis ikan tersebut bisa dikatakan tidak dikonsumsi. Memang ditangkap tapi siripnya saja yang diambil untuk kemudian dijual yang akan menjadi sop di mangkok orang kaya.
Yang juga ada kemungkinan memakan adalah ikan karang. Tapi ikan karang yang banyak dikonsumsi itu bersifat demersal atau bersembunyi di sela-sela karang.
Misalnya kerapu atau sunu. Tapi kan mayat itu terapung, untuk “didatangi” ikan karang yang tinggalnya di dasar laut kecil kemungkin. Paling yang ada “mattitto-tittoq” mayat adalah ikan kecil bersirip-sirip hitam yang memang tidak layak konsumsi alias tidak ditangkap.(rizaldy)