Majene, mandarnews.com – Sungguh malang nasib Imran Ibrahim, bayi penderita hydrocephalus. Kepala bayi mungil yang baru berusia tiga bulan ini mengalami pembengkakan dan terus membesar. Bayi malang ini anak ke enam dari pasangan suami istri (pasutri) Serman (34 tahun) dan Hasna (42 tahun), tergolong kelurga miskin.
Mereka tinggal yang Tammalassu, Kelurahan Rangas, Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Sulbar) ini butuh bantuan dana untuk berobat di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel). Imran Ibrahim, bayi penderita hydrocephaluss ini tak henti-hentinya menangis di pangkuan ibunya.
Merasa tidak nyaman atas sakit yang dideritanya. Apa lagi, sejak menderitanya penyakit ini, mata Imran tidak bisa melihat. Imran divonis menderita Hydrocephalus oleh dokter spesialias anak di RSUD Majene, dr. Heldalina dan harus segera dirujuk ke Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Imran Ibrahim, Bayi penderita hydrocephalus
Hasna ingin anaknya, Imran Ibrahim, bayi penderita hydrocephalus, sembuh dan normal kembali seperti anak seusianya. Tapi apa boleh buat, Hasna hanya bisa pasrah. Imran tidak punya jaminan kesehatan, Kartu Indonesia Sehat (KIS) dari pemerintah agar bisa gratis berobat di Makassar.
Belum lagi biaya hidup selama berobat di Makassar, Hasna mengaku sama sekali tidak punya uang untuk itu, Sebenarnya, Hasna bersama suami dan anak pertama sampai ke empatnya punya kartu KIS.
Tapi anak kelima dan termasuk Imran Ibrahim, bayi penderita hydrocephalus belum juga punya kartu KIS. Hasna hanya bisa pasrah dan berharap ada bantuan dari pemerintah maupun masyarakat untuk membiayai pengobatan putra bungsu kesayangannya itu.
“Pasrah, apa boleh buat, mau naik di Makassar (berobat) tapi tidak ada uang, Air saja di Makassar dibeli. Belum lagi biaya (hidup) anak-anakku disini yang masih sekolah,” kata Hasna, Senin 15 Mei 2017.
Saat dilahirkan Sabtu 4 Februari 2017, Imran dilahirkan memiliki berat tidak normal setelah dikandung ibunya selama delapan bulan. Berat badan Imran hanya 1,5 kg atau mengalami Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR). Menurut organisasi kesehatan dunia, Wolrd Health Organization (WHO), berat normal bayi laki-laki itu antara 2,5 sampai 4,4 kg.
Menurut Hasna, saat Imran dilahirkan ia dibantu dukun. Tanpa bantuan petugas kesehatan. Pasalnya, ia tiba-tiba melahirkan tanpa gejala berarti dan melahirkan Imran saat hendak buang air kecil.
Selain itu, pasca melahirkan saat itu ia sengaja tidak menghubungi petugas kesehatan karena tidak punya uang. Ia trauma saat melahirkan anak ke limanya, 5 April 2015 silam. Ia mengaku disuruh bidan setempat sampai Rp. 600 ribu karena melahirkan di rumah, tidak di sarana kesehatan.
“Datang bidan (saat melahirkan anak kelima) dua kali disuntik kemudian disuruh bayar Rp. 600 ribu. Saya takut panggil lagi karena tidak ada uang, bapaknya tidak punya kerjaan tetap,” keluh Hasna.
Setelah lahir, Imran sempat dilarikan ke RSUD Majene dan dirawat diinkubator selama seminggu. Imran keluar dari RSUD Majene setelah memiliki berat 2,2 kg.
Memasuki usia dua bulan lebih, Hasna mulai heran. Kepala Imran mulai lembek dan ukurannya bertambah. Urat-urat kepalanya bayi malang itu mulai terlihat jelas. Lalu, ia kemudian bawa anaknya itu ke dukun. Tapi tidak ada perubahan hingga Imran dilarikan ke RSUD Majene.
Kini, bayi malang itu hanya dirawat di rumahnya. Hasna tidak punya pekerjaan, hanya ibu rumah tangga. Sementara suaminya, Serman hanya berprofesi sebagai tukang ojek yang tak punya penghasilan tetap. Keluarga kecil ini hanya bisa berharap uluran tangan dari dermawan untuk pengobatan anaknya.
Untuk diketahui, istilah hidrosefalus berasal dari bahasa Yunani “hydro” yang berarti air dan “cephalus” yang berarti kepala, merupakan kondisi dengan ciri utama akumulasi cairan yang berlebihan di otak. Seperti dilangsir dari Kompas.com yang dikutip dari WEBMD.
Pemicu hidrosefalus pada bayi belum diketahui dengan jelas, tetapi secara umum dapat disebabkan oleh cacat genetik, perdarahan pada janin sebelum kelahiran, infeksi pada ibu seperti toksoplasma atau sifilis, atau cacat lahir seperti spina bifida.
Terapi hidrosefalus sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 4 bulan untuk mengurangi risiko kerusakan otak.
Tujuan utama pengobatan penyakit ini adalah mengurangi jumlah cairan di otak. Biasanya dokter akan menempatkan selang fleksibel yang disebut shunt, ke otak untuk mengeringkan cairan.
Shunt tersebut akan membawa cairan ke bagian tubuh lain, biasanya perut atau jantung, agar cairan itu dapat diserap.
Shunt pada umumnya akan dibiarkan di otak seumur hidup. Penggantian dilakukan bila shunt tersumbat atau terinfeksi.
Selain pemasangan shunt, bisa juga dilakukan operasi ETV (endocopic third ventriculostomy). Dalam prosedur tersebut, dokter akan membuat lubang kecil di bagian dalam otak sehingga cairan di otak bisa mengalir bebas.
Untuk kasus darurat, dokter juga akan memberikan obat-obatan atau prosedur mengeringkan cairan otak sebelum shunt bisa dipasang.
Bila anak hidrosefalus mengalami gangguan perkembangan yang disebabkan oleh kerusakan pada otak, terapi untuk mengatasi kelambatan tumbuh kembang itu dapat dilakukan. Misalnya saja terapi wicara atau terapi fisik untuk mengatasi gangguan kemampuan motorik.
Yang harus diperhatikan, orangtua dan dokter harus mewaspadai kemungkinan cairan di otak menumpuk lagi. Shunt juga bisa tersumbat atau terinfeksi.
Bila anak tampak rewel, tak nafsu makan, kebanyakan tidur, dan sering muntah, itu merupakan tanda adanya kelebihan cairan berulang di otak. (Irwan)