Ilustrasi / Net.
- Oleh : Adi Arwan Alimin
Mandarnews.com – Dunia pers makin maju. Melihat aktivitas jurnalistik dewasa ini pun seolah-olah sesuatu yang mudah saja. Hingga tidak sedikit orang dengan modal sekadarnya memutuskan menjadi wartawan. Biasanya mereka memulai dengan bergabung di media kecil-kecilan, atau ada pula yang langsung menembak media dengan standar lebih berat. Lalu jadilah wartawan.
Wartawan di masa lalu, dan wartawan yang berkiprah hari ini cukup memiliki perbedaan. Para wartawan senior biasanya didik dengan begitu berat, tidak dengan cara instan. Dengan mengandalkan alat tulis, notes, dan daya ingat membuat wartawan memiliki daya jelajah yang luar biasa. Mereka amat fokus pada bahan liputan, ini bisa dibandingkan dengan wartawan yang saat ini semata-mata mengandalkan alat elekronik atau mungkin handphone yang memiliki alat rekam. Liputan terasa sangat gampang.
Wartawan itu mewakili kepentingan publik. Maka tidak seyogianya profesi ini tidak digeluti seseorang yang sekadar ingin menumpang hidup, karena memiliki rencana lain untuk melompat pada kepentingan pragmatis di kemudian hari. Maka syarat utamanya, ia harus peduli pada kesinambungan aktivitas jurnalistik yang tidak pernah berhenti setiap hari.
Di era tahun 1980-an, untuk lebih menyingkat masanya, sebagian besar media menetapkan standar lulusan SMA sebagai batas minimal calon wartawan. Namun seiring waktu, sejak tahun 2000-an standar itu lebih ketat, minimal S1. Uniknya level pendidikan ini tidak secara khusus bagi para lulusan sekolah jurnalistik, tetapi menerima semua alumni dengan ragam latar belakang. Inilah yang membuat newsroom itu padat gagasan.
Lulusan S1 itu dianggap memiliki ketajaman analisis lebih dibanding tamatan SMA. Apakah itu sebuah jaminan? Sebenarnya tidak juga. Sebab dari ruang redaksilah mereka akan dididik, dan dilatih sesuai standar media dimana wartawan itu bekerja. Seorang calon wartawan idealnya sejak awal memiliki talenta, hingga pihak redaksi atau perusahaan media tidak begitu sulit mendidik, dan mengorbitkannya sebagai sosok profesional.
Lalu apa syarat jadi wartawan? Pertama tentu berpendidikan. Seperti yang penulis kemukakan sebelumnya. Syarat pendidikan itu nomor satu, sebab seorang wartawan akan menghadapi begitu banyak orang atau narasumber, dengan seribu latar sosial dan pendidikan. Kita tidak berharap akan ada wartawan yang hanya melongo di depan seorang narasumber, karena standar pengetahuannya tidak bisa mengimbangi sumbernya.
Kedua, memiliki keterampilan berbahasa. Artinya seorang wartawan harus pandai berbicara, aktif menyimak, terampil menulis, dan memiliki kekuatan membaca yang hebat. Apa jadinya bila seorang wartawan tidak memadai dalam syarat keterampilan berbahasa ini. Idealnya seorang wartawan memahami dengan baik (bukan menghapal ya) rencana liputannya sebelum terjun ke lapangan.
Ketiga, seseorang memiliki naluri atau kepedulian. Ketika seorang wartawan tidak memiliki daya endus ini, sebaiknya lebih awal berhenti, sebab dia tidak akan pernah menghasilkan karya apapun dari profesi terhormat ini. Hal yang membedakan antara satu wartawan dengan wartawan lainnya, salah satunya dari sisi ini secara mencolok.
Keempat, mampu menjaga kepercayaan. Seorang yang dipercaya publik akan selalu menghasilkan karya yang ditunggu-tunggu karena pembaca meyakini, wartawan itu tidak selalu berkutat pada desas-desus semata tetapi sanggup menyembulkan kepentingan publik sebagai realitas yang diperlukan. Publik saat ini memiliki lebih banyak sumber untuk menerima informasi. Maka seorang wartawan harus terus melatih dirinya makin pintar mengelola sebuah informasi sebagai peristiwa yang layak dan pantas diberitakan.
Wartawan juga harus menjaga kepercayaan narasumber dalam menjaga informasi yang diberikan. Adakalanya sebuah informasi penting dapat diperoleh wartawan karena atas jaminan bahwa ia bisa dipercaya sampai kapan pun. Wartawan yang dapat dipercaya, akan tetap mampu menjaga hubungan baiknya dengan siapapun.
Kelima, agresif. Wartawan itu mesti aktif, tidak hanya menunggu sampai kapan awan di langit itu menjadi lebih tebal lalu menurunkan hujan, atau menyisakan banjir. Wartawan harus pandai mengeksplor setitik informasi untuk kemudian menjadi bacaan atau informasi yang menarik dan bermanfaat bagi pembaca atau pemirsa. Situasi yang selalu berubah cepat, mendesak wartawan untuk lebih aktif.
Keenam, berpikir kritis. Apatis itu berbeda dengan skeptis. Wartawan idealnya tidak mudah percaya pada informasi pertama dari seorang narasumber, melainkan harus menggalinya dengan melakukan klarifikasi, atau verifikasi data pada sumber lain. Kurang percaya itu menuntut wartawan bekerja lebih cerdas, sebelum ia menyakini validitas informasi dari siapapun.
Ketujuh, sopan. Bukan zamannya lagi wartawan bercelana penuh robekan, atau berpenampilan seolah tak peduli apakah telah mandi atau tidak. Itu mungkin berlaku pada pengalaman para senior di masa lalu, yang memang berkutat dengan beberapa masalah teknis redaksi hingga ke percetakan. Wartawan penting menjaga perfomanya. Bukankah itu melambangkan tabiat, dan cara menjunjung etika.
Delapan, tidak mengandalkan materi. Dunia media itu terbagi atas dua bagian besar, yakni urusan perusahaan dan urusan redaksi. Yang berpikir materi mereka yang ditempatkan di jajaran perusahaan, tugasnya mengelola tingkat pertumbuhan pelanggan, kerja sama dan periklanan. Jobnya memang mencari uang untuk tetap menjalankan keberlangsunan perusahaan.
Nah, bagi newsroom tanggung jawabnya tetap menjaga idealisme media yang Tuan-nya hanya satu: publik. Wartawan sejatinya tidak diarahkan untuk memasuki ruang usaha itu, kecuali pada sebatas kebijakan perusahaan yang menuntut mereka menyesuaikan kepentingan bisnis dan konten liputan.Penulis memiliki pengalaman panjang tentang hal ini, untuk itu ritmenya harus dijaga sedemikian rupa.
Gimana sanggupkah memenuhi sejumlah syarat di atas? Bila jawabannya Ya, berarti Anda bisa diandalkan memasuki bidang profesi ini. (***)