- Penulis : Ilham Muin
- Jabatan : Sekertaris PDI Perjuangan Majene
Opini, mandarnews.com – Di tahun 2017 ini, setidaknya telah digelar tiga pemilihan presiden (pilpres) di tiga negara besar. Dua di Asia, satu di Eropa. Di Asia ada Korea Selatan dan Iran telah memilih presiden barunya. Di Eropa dan Prancis juga telah memiliki presiden baru.
Hasil dari tiga pilpres ini memiliki kesamaan yang prinsipil. Tiga presiden terpilih berasal dari kalangan penganut paham moderat. Ketiganya juga sekaligus mengalahkan kalangan konservatif. Hasil ini bertolak belakang dengan pilpres Amerika Serikat yang melahirkan Donald Trump, seorang konservatif sebagai Presiden ke 45 di negeri Paman Sam.
Di Korea Selatan, Moon Jae In memenangi pilpres dengan hasil meyakinkan, 63 persen. Moon berasal dari partai yang memiliki paham lunak terhadap Korea Utara. Saudara sekaligus seteru abadi mereka dalam 67 tahun terakhir. Moon membuka ruang dialog dengan Pyongyang sekaligus menempatkan perang sebagai alternatif terakhir untuk menyelesaikan ketegangan di semenanjung Korea.
Presiden Iran terpilih juga berasal dari kalangan moderat. Hassan Rouhani adalah presiden petahana yang sepakat dengan Amerika dan Uni Eropa untuk membatasi program nuklir Iran. Rouhani mengalahkan Ebrahim Rousi, seorang penganut paham konservatif.
Di Perancis, presiden terpilih juga berasal dari penganut paham moderat. Emmanuel Macron, sahabat politik Barack Obama. Kemenangannya melawan Le Pen, seorang konservatif sejati, memupus kekhawatiarn banyak kalangan akan kemungkinan keluarnya Perancis dari Eropa, seperti yang sudah dilakukan Inggris dengan kebijakan Brexit-nya. Politik luar negeri itulah yang akan terlaksana jika seandainya Le Pen yang menang.
Namun bukan persoalan moderat dan konservatif ini yang ingin saya tarik benangnya. Saya lebih tertarik pada sosok Macron. Presiden terpilih Perancis yang melahirkan banyak inspirasi karena usianya yang masih sangat muda, 39 Tahun. Sekali lagi 39 tahun.
Untuk ukuran presiden, usia 39 tahun tentunya sangatlah muda, apalagi untuk negara sebesar dan sedigdaya Perancis. Jabatan itu juga diraih Macron lewat pertarungan keras dan melelahkan. Bukannya jabatan presiden warisan, seperti yang banyak dipegang oleh presiden di negara-negara penganut monarki, kerajaan.
Saat ini, rata-rata pemimpin dunia sudah berumur. Coba kita lihat, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump berumur 70 tahun. Presiden China, Xi Jin Peng, 63 tahun, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, 62 tahun. Perdana Menteri Inggris, Theeresa May, 60 tahun. Kanselir Jerman, Angela Merkel, 62 tahun. Raja Arab Saudi, Raja Salman, 81 tahun. Perdana Menteri Singapura, Lee Hsiong Loong, 65 tahun. Presiden Rusia, Vladimir Putin, 64 tahun.
Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull, 62 tahun. Perdana Menteri Malaysia, Najib Tun Abd Razak 64 tahun. Presiden Brazil, Micel Temer, 76 tahun. Perdana Menteri India, Narendra Mori, 66 tahun. Presiden Afrika Selatan, Jacob Zuma, 75 tahun. Presiden Nigeria, Muhammadu Buharu, 76 tahun.. Presiden Turki, Recep Tayyib Erdogan, 63 tahun
Atau mari kita bandingkan dengan usia 7 Presiden Indonesia saat mereka terpilih. Presiden pertama Indonesia, Soekarno dilantik jadi presiden di usia 44 tahun. Soeharto, 47 tahun. Habibie, 62 tahun. Gusdur, 59 tahun. Megawati Soekarno Putri, 51 tahun. Susilo Bambang Yudhoyono, 55 tahun dan Joko Widodo, 53 tahun.
Kemenangan Macron di Perancis memberi inspirasi ke banyak kalangan, setidaknya bagi kaum muda. Saya tidak ingin mendikotomikan kaum muda dan kaum tua. Tidak ingin mengatakan bahwa kaum muda lebih baik dari kaum tua. Saya juga tidak ingin terjebak dalam pendapat Perancis Bacon yang mengatakan kaum muda lebih cocok mencipta ketimbang memutuskan. Lebih cocok bertindak ketimbang menimbang.
Saya lebih sepakat jika kaum muda punya kepercayaan diri untuk tampil. Tanpa perlu ragu akan kapasitasnya, kapabilitasnya maupun pengalamannya. Sejarah panjang bangsa ini telah menempatkan kaum muda dalam posisi terhormat. Kaum muda senantiasa hadir dan mewarnai setiap perubahan besar bangsa ini.
Diera kemerdekaan, kaum muda punya andil besar dalam proses kemerdekaan Indonesia, lewat peristiwa Rengas Dengklok nya. Diera transisi Orde Lama ke Orde Baru, kaum muda yang banyak diwakili mahasiswa juga tampil sebagai pendobrak perubahan. Pun demikian dengan peralihan dari Orde Baru ke era Reformasi. Kaum muda juga dominan dalam menyuarakan dan menggerakkan perubahan.
Jadi untukmu kaum muda, jangan pernah berkecil hati. Sejarah senantiasa berpihak bagi kaummu. Dan berbanggalah. Soekarno pernah bilang, “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut Gunung Semeru dari akarnya. Dan berikan aku 10 anak muda, niscaya akan kuguncang dunia. (***)