Mamuju, mandarnews.com – Tahapan Pemilu 2019 segera dimulai. Seluruh pihak yang akan terlibat dalam pemilihan umum ini tentu harus lebih siap dan matang untuk menyikapinya.
Dalam waktu yang berimpitan, pemerintah akan segera kembali menggelar Pemilu dan Pemilukada serentak. Tahun 2018 segera akan dilangsungkan Pilkada serentak di 107 daerah. Termasuk di dua kabupaten di Sulawesi Barat. Kabupaten Polewali Mandar (Polman) dan Mamasa.
Tahun berikut 2019 untuk pertama kalinya bakal digelar pemilihan serentak dengan menyerentakan Pemilu legislatif dengan Pemilu presiden dan wakil presiden dalam satu waktu.
“Kita semua berharap dengan kedua pesta demokrasi yang dilangsungkan serentak ini semakin akan memperkokoh konsolidasi demokrasi kita. Semua pihak termasuk para penyelenggara tentu akan semakin siap dan solid menghadapi hajatan ini,” kata Ketua KPU Sulbar, Usman Suhuria dalam siaran pers yang dikirim ke mandarnews.com, Rabu 6 September 2017 malam.
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu diketahui, secara substansial dihadirkan untuk memperkuat sistem presidensial ini di dalamnya terdapat perubahan-perubahan pengaturan. Perubahan tersebut tentu secara teknis akan turut mengubah kerja penyelenggara di lapangan.
“Dari UU tersebut setelah kita amati dan petakan perbandingan perubahannya, maka secara teknis terdapat hal-hal yang krusial dari UU ini. Hal krusial itu setidaknya terdapat lima isu. Meskipun terdapat isu lain yang turut mengubah cara mengelolanya di lapangan,” lanjut Usman.
Usman menjelaskan, isu krusial yang dimaksud adalah pertama, keserentakan pemilu legislatif dengan pemilu presiden dan wakil presiden. Perubahan ini jelas menjadi sejarah pertama dalam praktek pemilu di Indonesia.
“Pelaksanaannya dilakukan dalam hari yang sama. Keserentakan ini akan membawa konsekwensi kepada tata kelola administrasi, kampanye, fasilitas logistik dan sebagainya. Dan terutama karena Keserentakan tersebut akan bertambah jumlah waktu seorang pemilih di dalam TPS (Tempat Pemungutan Suara).” jelasnya.
Isu krusial kedua adalah metode penentuan konversi suara menjadi kursi di pemilu legislatif. Dengan UU ini, kini menggunakan sistem konversi yang baru. Ini tentu membutuhkan pemahaman lebih cepat kepada para pihak agar mengetahui persis sistem ini.
Alasannya jelas agar para pihak atau partai misalnya memiliki referensi lebih awal untuk kebutuhan pemetaan strategi lapangan. Jadi ini butuh sosialisasi intens biar lebih dini menjadi pemahaman bersama.
Isu krusial ketiga, adalah syarat memilih bagi pemilih. Syarat pemilih ini tidak ada opsi lain kecuali dengan syarat KTP-el. Implikasi pengaturan syarat memilih dalam UU ini tak ada opsi untuk seperti penggunaan surat keterangan kependudukan seperti sebelumnya.
“Dampak dari pengaturan ini, seorang warga negara benar-benar akan terhambat untuk memilih jika tidak memiliki KTP elektronik. Konsekwensi dari pengaturan ini adalah pihak pemerintah daerah harus lebih proaktif untuk memastikan seluruh warga negara yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan KTP el,” ungkap Usman.
“Sama juga warga negara harus proaktif untuk mengurus KTP el ini. Perlu dicatat bahwa tahun 2017 ini jumlah pemilih Sulbar yang non KTP el masih tergolong sangat besar, masih kurang lebih 200 ribu pemilih,” lanjutnya.
Isu krusial keempat, badan penyelenggara khususnya untuk tingkat KPU Kabupaten kota dan personel penyelenggara adhoc tingkat kecamatan (PPK) terjadi perubahan jumlah komisioner dan personel. Perubahan ini jelas akan berdampak di lapangan karena beban kerja.
“Ini kita akan lihat bagaimana menyiasati masalah ini terutama untuk manajemen kerja nantinya. Ini perlu mendapat perhatian apalagi setelah dilakukan simulasi pemungutan dan penghitungan suara proses itu rampung pada pukul 4 pagi. Itu dengan tanpa ada kesalahan atau komplain dari para saksi,” kata Usman.
Isu krusial terakhir atau kelima terkait logistik. Penggunaan logistik terutama untuk kotak suara bentuknya dibuat transparan atau tembus pandang dari luar. Tentu agar lebih efesien dan praktis kotak ini seperti yang sudah disimulasi adalah terbuat dari bahan kardus tetapi memiliki bidang yang tembus pandang.
“Untuk logistik seperti ini tentu butuh kerja ekstra untuk membuatnya lebih aman dari hujan atau distribusinya ke dan dari daerah pulau. Ini juga memerlukan kerja hati-hati nantinya meski sebelumnya kita sudah pernah menggunakan kotak dengan bahan kardus. Apalagi di ketahui bahwa masa pemungutan suara pemilu 2019 berada dalam fase musim hujan,” jelasnya.
Diantara isu krusial tersebut, kata Usman, sebenarnya terdapat banyak perubahan dari UU sebelumnya dan dapat disebut akan menimbulkan beberapa isu. Meski demikian, jika kita lihat tidak akan memberi pengaruh siginifikan terutama karena dampak perubahan tersebut dilapangan diukur dari kerja teknis pemilu.
Melalui beberapa perubahan ini menjadi penting kepada semua pihak untuk lebih mendalami UU pemilu yang baru ini. Ini penting karena UU ini tidak berdiri sendiri untuk mengatur satu objek saja tetapi mengatur tiga objek sekaligus. Yaitu UU ini mengatur penyelenggara, mengatur pemilu legislatif dan mengatur pemilu presiden dan wakil presiden. UU ini adalah mengkodifikasi tiga UU. (Irwan Fals)