Ilustrasi anak menangis dengan orang dewasa di depannya. (Sumber foto: AI)
Polewali Mandar, mandarnews.com – Kasus kekerasan seksual terhadap anak, khususnya di Kabupaten Polewali Mandar, beberapa kali sempat mengemuka. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang tua.
Lalu, apa yang bisa dilakukan oleh orang tua agar anak terlindungi dari orang dewasa yang justru memiliki ketertarikan tidak lazim pada anak kecil, atau yang lebih dikenal sebagai pedofil itu?
Aktivis anak, Dwi Bintang Fajar, mengemukakan jika salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah membuat diri lebih dekat dengan anak.
“Sering-seringlah ajak ngobrol,
selain membekali nasehat juga penting menanyakan apa saja kegiatannya hari itu. Buat kita jadi tempat berceritanya si anak,” sebut Dwi melalui WhatsApp, Jumat (7/11/2025).
Dwi menerangkan, korban akan terus membawa traumanya sepanjang hidupnya. Beberapa penyintas bahkan masih sering mengalami nyeri saat teringat kembali akan kekerasan yang pernah dialami.
Dampak yang ditimbulkan juga kemungkinan besar negatif, terlebih tanpa ada proses rehabilitasi.
“Lebih-lebih apabila korbannya laki-laki yang pelakunya juga laki-laki, karena (ada) potensi dia akan jadi pelaku kedepannya,” ucap Dwi.
Untuk mencegah agar anak tidak menjadi pelaku, sebaiknya keluarga diarahkan untuk direhab, baik melalui psikolog atau konseling secara intensif dan tetap menjalin hubungan sirkel pergaulannya.
Menurut Dwi, lingkungan pendidikan masih menjadi tempat rawan terjadinya kasus kekerasan seksual anak, di samping lingkungan keluarga, pertemanan, dan tempat umum.
Sementara itu, Direktur Women Child Crisis Center Sulawesi Barat, Mimit Parkasi, menguraikan kalau secara psikologis, dampak terhadap korban beragam tergantung individu.
“Pada dasarnya, semua korban itu berpotensi mengalami trauma. Umumnya, potensi trauma itu tidak semua langsung terlihat pada saat kejadian, namun ada yang ketika dewasa nanti baru muncul,” tutur Mimit lewat aplikasi perpesanan.
Namun, dalam perjalanannya, ada beberapa korban yang mampu mengalami resiliensi atau daya lenting yang membuat korban melakukan pemulihan dari rasa sakit atau traumatik itu ke hal yang positif, walaupun ada juga yang negatif.
Berbicara soal trauma, tambah Mimit, sebelum menjadi korban, anak juga mungkin memiliki hal yang bisa memicu trauma psikologis, seperti pola asuh yang kurang baik, ada kekerasan lain seperti bullying , atau kepribadian si anak yang rapuh.
“Misalnya, anak sudah terbiasa, maaf, melakukan aktivitas seksual karena berpikir sudah telanjur, sudah menjadi korban. Pertanyaannya, apakah kejadian yang dialaminya menjadi alasan? Bisa iya, bisa juga tidak. Kita juga harus melihat pra dan pasca peristiwa tersebut. Harus dilihat secara faktor yang menjadikan anak terkena dampak atau negatif positif, tidak bisa hanya mata-mata dari peristiwa yang dialami anak,” tukas Mimit.
Tidak kalah pentingnya adalah dari lingkungan, jika lingkungannya positif maka kemungkinan besar dampak positif yang timbul, begitu pula sebaliknya.
Mimit menegaskan, anak yang menjadi korban memang harus melakukan terapi, sehingga dukungan keluarga, sosial, dan asupan spiritual sangat penting.
Jika lingkungannya kurang positif namun anak memiliki dampak positif, bisa saja karena rasa sakit itu ditekan ke alam bawah sadar, yang nantinya bisa muncul kembali. Tapi, hal itu sulit jika lingkungan tidak mendukung.
“Trauma itu tidak ada kata sembuh sebenarnya, seumur hidup akan dibawa, tidak seperti luka di tubuh yang bisa sembuh. Trauma tidak muncul karena ditekan, ketika ada pemicu, trauma akan muncul,” beber Mimit.
Di Kabupaten Polewali Mandar sendiri, ungkap Mimit, pada tahun ini terjadi peningkatan angka kasus kekerasan seksual anak yang signifikan dibandingkan tahun lalu.
“Hal ini sudah kami prediksi dari dua tahun yang lalu. Salah satu faktornya karena banyak korban sudah memiliki keberanian untuk speak up dan ada beberapa media untuk mereka melaporkan kejadian atau kasus yang mereka alami,” imbuh Mimit.
Pada tahun 2024 kemarin, menurut data yang dimiliki Mimit, ada 12 kasus kekerasan seksual anak. Angka itu pun melonjak drastis menjadi 31 kasus per Oktober 2025. (ilm)
