
Foto Kiri : Komjen Pol (Purn) Drs. Jusuf Manggabarani | Foto Kanan : Anton Medan
Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Pada 20 Mei 2025, bangsa ini kehilangan salah satu putra terbaiknya. Komjen Pol (Purn) Drs. Jusuf Manggabarani, mantan Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan tokoh penting asal Sulawesi Selatan, wafat di Makassar dalam usia 72 tahun. Kepergiannya menyisakan duka mendalam, tidak hanya bagi institusi Polri, tetapi juga bagi masyarakat Mandar dan Sulawesi Selatan secara keseluruhan. Pun termasuk keluarga menantunya, Erwin Aksa Mahmud.
Dari pemberitaan yang saya ikuti, almarhum adalah sosok jenderal yang bersih, tegas, dan menjunjung tinggi integritas. Namun di balik kariernya yang gemilang, terdapat sisi lain yang tak kalah penting: kecintaannya pada tanah kelahiran, penghormatannya terhadap nilai-nilai keluarga, serta komitmennya terhadap Islam dan pengabdian sosial.

Lahir di Makassar pada 4 Juni 1953, Jusuf Manggabarani berasal dari keluarga terhormat di tanah Mandar. Ayahnya, H. Andi Hasan Manggabarani, adalah Bupati pertama Kabupaten Polewali Mamasa (periode 1960–1965). Dikenal sebagai tokoh perintis pembangunan pemerintahan daerah sejak awal berdirinya kabupaten ini.
Keluarga ini bukan hanya aktif dalam birokrasi, tetapi juga terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Tahun lalu, salah seorang saudaranya Jusuf Manggabarani menyerahkan sebuah rumah besar dan mewah di kawasan elit kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan.
Rumah tersebut kini digunakan sebagai rumah tahfidz Al-Qur’an, tempat para santri Pesantren Muhammadiyah memperdalam hafalan dan pemahaman ayat-ayat suci. Warisan keluarga ini tak hanya berupa nama besar, tetapi juga nilai-nilai luhur yang diwujudkan secara nyata untuk kemaslahatan umat.
Pada 6 Juni 2025 kemarin, saya melakukan perjalanan ke Mambu, Kecamatan Luyo, Polewali Mandar, untuk menjenguk orang tua sahabat saya, Firdaus Muis, Ketua KKSS Sydney Australia. Meski orang tuanya sedang berada di Mamuju, perjalanan itu menghidupkan kembali kenangan tentang Pak Jusuf. Hal ini karena saya melihat foto-foto Jenderal (Purn) Salim Mengga masih bertebaran di sepanjang jalan sebagai alat peraga kampanye dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Barat beberapa waktu lalu. Keduanya adalah masih kerabat dekat.
Kenangan itu membawa saya pada pengalaman saat menjabat sebagai Ketua Panitia Baitul Arqam Muhammadiyah se-Australia beberapa tahun silam. Kegiatan tersebut berlangsung di Muhammadiyah Australia College (MAC), Melbourne. Di antara siswa sekolah tersebut, saya menemukan seorang siswa bermarga “Manggabarani”. Ketika saya tanyakan kepada kepala sekolah, dijelaskan bahwa orang tua siswa tersebut berasal dari Sulawesi. Seketika, saya teringat pada dua sosok dari keluarga Manggabarani: Hasyim Manggabarani dan Jusuf Manggabarani, dua putra dari Bupati pertama Polewali Mamasa.
Saya juga pernah bertemu langsung dengan Hasyim Manggabarani di awal 2000-an, ketika ia menjabat sebagai Bupati Polmas. Saat itu, beliau sedang memeriksakan kesehatannya kepada istri saya, yang bertugas sebagai tenaga medis di lokasi pengungsian korban konflik di wilayah Mambi, Mamasa. Dari pengalaman itu, saya menyaksikan langsung bagaimana keluarga Manggabarani sentiasa terlibat dalam isu-isu kemanusiaan dan sosial-politik di daerah.
Dalam kariernya di institusi kepolisian, Jusuf Manggabarani menempati sejumlah posisi strategis, mulai dari Kapolrestabes Makassar, Kapolda Sulawesi Selatan, hingga puncaknya sebagai Wakapolri pada periode 2005–2008. Kepemimpinannya dikenal bersih, profesional, dan tak mudah diintervensi oleh kekuasaan atau kepentingan luar.
Pengalamannya selama bertugas menyimpan berbagai kisah menarik. Saat menjabat sebagai Kapolrestabes Makassar, ia pernah mengejar langsung seorang pencopet yang beraksi di Jalan Dr. Ratulangi. Peristiwa itu bermula dari keributan yang ia lihat dari dalam mobil dinasnya. Ia turun, mengejar pencopet hingga ke lorong sempit, bahkan sempat bergumul sebelum berhasil menangkap pelaku.
Dalam kisah lain, saat dalam perjalanan pulang dari Tana Toraja, ia singgah di sebuah pos polisi. Di sana, seorang sopir truk yang tidak mengenalinya mengira ia adalah petugas jaga dan memberinya uang receh. Ia menolaknya sambil tersenyum, tanpa sekalipun memperkenalkan diri sebagai perwira tinggi.
Namun, kisah yang paling berkesan bagi saya adalah yang berkaitan dengan Anton Medan. Saat magang di Yogyakarta pada 1998, saya membaca buku biografi Anton Medan—mantan preman dan bandar judi kelas kakap asal Medan yang kemudian menjadi mualaf dan aktif berdakwah. Dalam buku itu, Anton menyebut seorang polisi yang disebutnya satu-satunya yang tak bisa disuap: Letkol Yusuf Mangga.
Nama itu ternyata adalah nama lapangan Jusuf Manggabarani ketika menjabat sebagai Komandan Gegana pada awal 1990-an. Dalam sebuah operasi penangkapan di Jakarta, Letkol Yusuf berhasil membekuk Anton Medan. Upeti besar sempat ditawarkan agar kasus itu “diselesaikan secara damai”. Namun, Letkol Yusuf menolaknya mentah-mentah. Ia memproses kasus itu hingga ke pengadilan dan ikut mengawal proses persidangan sampai vonis dijatuhkan.
Anton Medan mengakui bahwa dari sekian banyak aparat yang ia temui, hanya Letkol Yusuf yang tak bisa dibeli. Baru kemudian saya sadari, sosok itu adalah Jusuf Manggabarani.
Jusuf Manggabarani adalah potret seorang perwira yang tidak hanya sukses dalam jenjang struktural kepolisian, tetapi juga konsisten menjaga integritas, tidak melupakan akar budaya, dan memberikan keteladanan dalam kehidupan sosial serta keagamaan. Keberhasilannya bukan semata-mata karena jabatan, melainkan karena tanggung jawab moral yang ia pegang dan warisan kebaikan yang ia tinggalkan.
Kepergiannya adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Namun keteladanan dan semangat pengabdiannya akan tetap hidup dalam ingatan banyak orang. Insyaallah, beliau wafat dalam keadaan husnul khatimah. (*)