Opini, mandarnews.com – Jika catatan akhir SMA berisi curhatan remaja tentang rasa tidak ingin meninggalkan teman-teman mereka. Aku lebih dari itu, selain teman-teman (takut kesepian) aku juga tidak mau meninggalkan anak-anak baca bongi. Apakah mereka akan tetap membaca buku tanpa ku? Apakah masih ada orang yang akan terus meminjamkan mereka buku-buku menarik?
Sejak Maret 2017 aku mengadakan kegiatan literasi di Tammangalle Kecamatan Balanipa Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat bernama Baca Bongi. Itu merupakan salah satu kegiatan sosial milik Yayasan Salili Mandar untuk meningkatkan angka melek huruf dan budaya baca buku pada anak-anak usia dini. Menurut beberapa orang hal seperti ini mudah, tapi pengalamanku mengatakan tidak.
Selama hampir satu tahun ini aku melakukan banyak eksperimen terhadap metode mengajarku. Mulai dari metode ‘hadiah’ hingga metode yang kusebut ‘bawa pulang’. Kini aku menyadari metode terakhirku malah membuat mereka menjadi anak-anak yang tinggi kelas.
Mereka tidak suka membaca buku yang mereka sudah baca sebelumnya, sebagian dari mereka tidak suka yang terlalu tebal, terlalu tipis, beberapa tidak suka yang terlalu bertele-tele, terlalu singkat, tidak bergambar, terlalu bergambar, tidak berwarna, terlalu berwarna, cerita terlalu berat, cerita terlalu ringan, billingual (Inggris-Indonesia), tidak billingual dan lain-lain.
Setidaknya aku harus membawa 20 – 40 buku baru (tidak pernah mereka lihat sebelumnya) per minggu. Itu setara dengan hampir 100 – 160 buku per bulan. Ini terlalu keterlaluan mengingat jumlah mereka tidak lebih 20 anak. Greget bukan? Akibatnya mereka tidak jarang membuatku pusing untuk memilih buku-buku mana yang bisa kubawa ke Baca Bongi.
Jujur, aku tidak pernah punya pikiran untuk membaca lebih dari 13 buku dalam satu bulan saat masih usia 10 tahun. Saat umur segitu rental PS rasanya lebih menarik. Tapi faktanya yang pusing bukan hanya aku.
Ada kejadian yang menurutku lucu saat salah satu muridku mengaku tidak mau untuk membawa pulang buku seperti biasanya, katanya ibunya marah. Itu cukup aneh, tapi ternyata alasan ibu anak ini marah karena setiap hari kamarnya pasti berantakan dengan buku-buku yang aku pinjamkan.
Namun aku tetap memaksanya untuk membawa pulang buku yang dia suka, “Bodoh amat! kalau kau dimarahin, kan yang dimarahin bukan aku. Makanya kau juga harus belajar beres-beres kamar!” kataku sambil tersenyum jahat. Aku bahkan sudah mengkategorikan mereka dalam tiga kelompok berdasarkan rentang tertentu.
Pertama, mereka yang TK-SD umumnya lebih suka buku tipis, sederhana, bergambar dan berwarna seperti Happitamus, Agen Polisi 212 dan The Story of The Little Boy. Kedua, yang SD-SMP mayoritas menyukai buku-buku novel ringan, sedikit bergambar, dan bukan kertas buram seperti Thingkerbell -Vidia’s Story-, Kumpulan Dongeng Nusantara, dan Kumpulan Dongeng Mandar.
Terakhir, SMP atau lebih tua mulai menyukai cerita novel horror seperti Mirror dan Misteri Kota Hantu. Tapi itu semua hanya berlaku untuk mayoritas karena mereka punya standar buku masing-masing.
Banyak yang terjadi selama aku menemani mereka. Awalnya mereka tidak lebih dari anak-anak polos, mudah menurut jika disuruh membaca buku apa pun bentuk dan judulnya, dan tidak mudah tersinggung.
Kemudian berubah menjadi selayaknya kids jaman now yang sudah bisa menentukan pilihannya masing-masing, kritis terhadap apa pun terutama buku-buku ku, punya pendirian/ideologi sendiri sehingga sangat frontal untuk mengemukakan rasa suka dan tidak.
Jujur itu semualah yang tidak dimiliki kebanyakan anak muda dari generasiku. Mereka masih mewarisi pemahaman orba dimana semua diukur dari ‘menunduk dan mengangguk’. mereka membuatku berfikir ulang, yang salah dari pendidikan negeri ini bukan buku, guru, anak-anak, dan kurikulum, tapi pemikiran sempit otoritas tentang ‘apa itu belajar dan sekolah’.
Kuharap aku punya waktu untuk menuangkan itu dilain kesempatan, karena menulis itu berat kalau masih SMA, biar aku saja. Aku bangga bertemu anak-anak baca bongi…..
Hanya tuhan yang tahu masa depanku, tapi kupikir cepat atau lambat aku pasti akan pergi merantau juga. Hingga saat itu tiba aku hanya ingin tetap seperti ini dulu. (***)
- Tulisan : Muhammad Rusydy
- Umur : 17 tahun
- Siswa SMAN 1 Majene
- Baca kumpulan tulisan menarik dari Muhammad Rusydy