Cerpen Oleh : Hasriani Biboax
Pusaran waktu di ubun-ubun hariku. Menggantikan air menjadi darah menetes dibawah inderaku. Merobohkan raga berdiri tegap seolah diriku adalah raja.Aku ingin mengepal tangan menunjukkan pada hamba-hamba ALLAH bahwa aku tegar, tapi mereka lebih dulu meneropong jiwaku, menetapkan aku dalam perkara kekecewaan.
Akhirnya kugugurkan dusta, merentangkan tangan, merapatkan tubuh pada lantai bambu rumahku.
Betapa tidak! Perenggut hati telah datang padaku dengan suara lemah dan hanya bisa menatapku dengan pandangan kosong. Syetan amarah selalu saja memberi bisikan seperti yel-yel yang tak layak pakai. Tiba-tiba suara lain datang mengisi sukmaku. Aku tersadar bahwa dia adalah bapak dari anak-anakku yang pernah mengisi hidupku.
Meskipun dia telah merapuhkan pondasi cinta yang terbina, aku harus merelakan karena dia butuh aku. Sekian kali ucapan sindiran itu diletuskan padanya, anak-anakku ternyata belum mampu menerima perlakuannya.
Penyesalan menyelimuti mengharuskannya menerima derita. Aku menggenggam erat tangannya dan mencium kening yang bertahun-tahun tak pernah terjamah sambil berkata ”Maafkan mereka karena belum bisa menerima kehadiranmu yang mendadak ini tapi jangan khawatir masih ada aku karena aku juga masih menyayangimu.”
Tuturan sederhana itu begitu berarti baginya, hingga burungpun ikut keluar dari sarangnya, petir kilat tiba-tiba menyambar, dan kuncup bunga segera memekar menyaksikan kehebatan cinta penggoyang bumi. Tatapan kosong itu mengalirkan cairan bening yang menjadi buah kepiluan. Dia rapuh dan aku pun tahu.
Suara jarum merah terdengar memberiku ingatan bahwa waktu benar-benar berputar. Suamiku yang dulu pergi dengan wanita lain, meninggalkan ketiga anaknya kini kembali dengan tubuh bersama kulit keriputnya. Cintaku tercabik-cabik kala itu, bunga mawar merah yang ada disetiap sudut kamar berubah menjadi mawar hitam yang penuh kebencian. Selama 7 tahun, aku membanting tulang menafkahi dan membesarkan anak-anakku seorang diri tanpa berfikir kuat atau tidak kah aku.
Dan sekarang dia kembali. Dibalik tirai kekecewaan yang begitu mendalam masih menyisakan sayang untuknya. Semakin aku mencoba untuk melupakan dan membencinya, semakin kuat pula kenangan demi kenangan membelenggu diri. Cintaku sangat besar untuknya tanpa terpikir seberapa sakitnya hatiku dipermainkan.
“Apakah ini yang dinamakan cinta buta ?“ bisikku dalam kesendirian.
Ditengah-tengah camukan pikiranku. Terdengar deringan handphone yang tak jauh dari tempat ia dibaringkan. Terpampang jelas nama istri yang sudah mencampakkannya. Aku mengulurkan tangan sambil memberikan handphone padanya.
Diluar dugaanku, dia menggelengkan kepala tak ingin berbicara walau sekata. Terlihat kekecewaan campur benci melekat erat diwajahnya. Aku mulai menekan tombol hijau dan memulai pembicaraan dengan berucap salam padanya. Tanpa menaruh rasa sopan sedikitpun dengan ringan ia melenggangkan kata yang diluar pikiranku “silahkan urus laki-laki yang sudah tidak berguna itu karena sekarang aku sudah tidak membutuhkannya dan aku hanya ingin memberikan selamat padamu juga padanya. Selamat berbahagia”.
Bukan aku takut ataupun segan, tapi aku menjaga perasaannya yang sedang sakit, betapa kan resah jiwanya jikalau mendengar pertengkaran kami. Emosiku hampir goyah, ingin rasanya mengkoyak-koyak mulutnya. Mata hatinya benar-benar jauh dari cahaya hingga tak mampu memandang indah sebenarnya. Ini adalah cobaan yang harus aku tempuh dengan tabah dan mencoba melawan pembicaraan yang amat menyakitkan dengan terlihat tetap tenang, seakan tak ada masalah “aku akan mengurus dia sebaik mungkin. Terima kasih atas semua nasehatnya” kataku.
Segera aku menutup telpon dengan mengucap salam penutup. Kabut menebal di atas langit-langit mataku. Kuberlari jauh darinya. Deras linangan mata memenuhi pipiku. Memang hati ini sakit, jiwa ini rapuh, badan kurus kerontang karenanya.
Namun, sayang masih segudang untuknya. Tak mampu aku menepis kecewa kala kudengar sambaran api dari mulut istri keduanya itu. Disaat hidupnya diatas kejayaan dia(istri kedua) datang merenggutnya dariku dan melepasnya tanpa rasa ibah saat jatuh dalam jurang kehancuran. Sungguh sangat menyedihkan nasib dirinya dariku. Anjangsana tak nampak sedikitpun pada kelopak mataku. Aku, suami dan anak-anakku hanya bertemu dalam waktu singkat saja, semua sudah berubah. Anak-anak yang biasanya datang padaku untuk bercerita tentang hal-hal yang dialaminya setiap waktu, kini telah sepi dihadapanku. Mereka hanya ingin menemuiku saat berpamitan dan tak lagi memandangku seperti yang selalu mereka lakukan dulu. Mereka mulai menjauh dan merasa asing karena kebencian padanya(suamiku).
Aku menyadari tapi tak tahu menghadapinya. Selain aku tak ingin mereka jauh dariku, aku juga tak mampu dan tak tega meninggalkan ia sendiri terkurung dikamar. Semua menerkam, ombak membawaku kesetiap hempasannya. Aku mulai melepuh, anteng melihat suasana menimpaku. Jika kuingin telusuri setiap ruang hatiku, ingin rasanya aku meraih tawa yang dulu tertanam dibibir anak-anakku. Akan tetapi, tak tega hati ini jika kubiarkan dia tergeletak tanpa ada mata yang mau meliriknya. “aqdapangani batuammu puang!” ucapku dalam hati.
Malam mulai larut, anak sulungku belum juga datang. Pemberontakan mulai semakin kian menggencar, benang-benangpun semakin ruwet terurai. Sambil kubelai rambut suamiku terkulai lemah, aku mencari jalan yang bisa mengeluarkanku ditengah jurang penghimpit tubuh.
Kubulatkan tekad tuk menunggunya. Ingin menyelesaikannya malam itu juga. Cairan sayu kini sebak diwajah. Anakku yang dulu penurut dan tak pernah berkecimpung ditengah-tengah dunia gelamor, telah menenggelamkan diri jauh menembus semuanya. Suara gesekan pintu mulai terdengar dipertiga malam. Pelan-pelan ia menampakkan kaki menuju kamar. Seketika itu pula kutegur dalam kegelapan “pole innao anaq?”.
Sekejap terhenti dan melangkah lagi dengan suara pedas dan menusuk hati.
“Begitu besarkah ujian ini hingga kasih sayang mereka juga
hilang padaku?” pikirku.
Ku putar otak mencari celah-celah terang dalam rangkulan kegelisahan. Terpercik dalam hati untuk mengajaknya berbicara dikeheningan malam agar lebih mudah jalur hati ke hati. Pelan-pelan kugenggam tangan mengetuk pintu kamarnya, tak ada balasan sehelaipun.
Jam 03.00 pagi berdenting. Belum juga ada balasan darinya. Kemudian kutegaskan pada pendengarannya bahwa aku tak akan angkat kaki sebelum dia mau menemuiku. Jabatan Ibu yang kusandang longsor tak berarti dimatanya.
“ Mungkin harga diri tak berlaku lagi buat Ibu, kasih sayang kalian telah lepas jauh meninggalkan Ibu, tapi biarlah Ibu akan bersabar sampai semuanya jelas.” Kata itu kuhembuskan teriring suara isakan.
Usai ucapan tertutur, dia mulai Nampak dan menjatuhkan diri memelukku sambil memohon maaf. “aqdappangana maiqdi kindoq!” akupun meminta maaf serta membujuknya agar ingin mengungkapkan semua perasaannya. Seperti dugaanku, semua berawal dari kehadiran bapak mereka. Tak ada sisa dari mulutnya. Dia terang-terangan mengungkapkan ketidak sukaannya itu. Tak ada kasihan yang tersimpan dihatinya, meski dia tau bapaknya sedang terbaring tak berdaya.
Mataku membengkak menyambut fajar. Senyuman benar-benar luput dariku, tiada kecerahan melekat pada wajah walau setetes. Suasana bisu memenuhi setiap sudut-sudut penghuni gubukku. Bukan karena manusianya tak ada, melainkan karena ketidak cocokkan dalam keluarga. Aku menopang batin untuk menghadapi cobaan yang menerkam. Saat kurapikan dan kugantikan pakaian kotor yang dikenakan, dia menjatuhkan air mendengar percakapanku semalam bersama anaknya. Dia menaris mulutku hingga tak mampu ku jawab setiap perkataanya.
Menyayat batin saat kupandangi mata merahnya. Berulang kali dia memohon maaf ats kekeruhan keluarga saat itu. Dia menangis dan memelas padaku untuk memanggil anak-anaknya. Meskipun kutau itu akan sulit kulakukan tapi aku tak gentar dan mencoba untuk menyebrangi jalan berduri.
Lia, Dewi, dan Aminah menolak mentah-mentah permintaan itu. Rasa sakit mereka belum luntur disetiap titik pandangannya. Dengan berat hati, aku kembali membawa luka yang mereka rasa.
Suamiku hanya menyesali yang terjadi. Andai dia bisa memutar waktu maka dia akan lari mengejar, menggulung masa yang telah terkotori olehnya. Suara panggilan mu’min berkomandang menembus ruang. Serta merta peristiwa heboh menerpa, anak-anakku datang dengan wajah masam dan merah membara. Aku khawatir dengan apa yang akan terjadi. Karena malaikat kecil telah membisikkan ketakutannya padaku. Dengan nada benci, dendam, dan luka suara itu tertati-tati dari mulut Lia anak sulungku.
“Maaf bu, kami sudah bersabar melihat tingkah Ibu yang aneh. Apakah hati Ibu tidak sakit dengan perlakuan Bapak selama ini?” Bentaknya.
Dada sesak, pandangan gelap dan telinga tak lagi mendengar. Hatiku rapuh oleh perkataan mereka. Air mataku tak lagi menetes melainkan meluap bagai tsunami pembawa maut. Aku jatuh pingsan tak tahan menahan sakit. Sampai aku sadarkan diri, mereka masih disampingku.
Harapanku untuk memulihkan keretakan itu mulai sirna.
Mereka bersih keras untuk tetap pergi meski aku berdiam diri. “ diam berarti memilih Bapak” anggapnya. Benar-benar nafsu amarah telah menutup pintu hati mereka. Sedang Bapak mereka tak berkutip menyaksikannya.Dia(suamiku) menggenggam tanganku dan meminta untuk memeluknya. Aku tak tega melihat derita yang dipikulnya.
Dalam kehangatannya lembut berkata “Bawalah aku kerumah kosong yang tak jauh dari sini, biarlah aku disana dan kita tak akan pernah lagi berpisah. Kamu bisa menemuiku kapan saja, tapi jangan sampai anak-anak tau karena pasti akan marah”.
Ucapannya tak aku hiraukan. Aku menawarkan padanya agar dia kerumah sakit saja, karena dengan begitu aku juga tak akan resah memikirkannya.Kata “Tidak“ ternyata deras terdengar. Dia menolak dengan alasan bahwa sebelum kedatangannya dia telah memeriksakan penyakitnya kedokter dan hasilnya tinggal menghitung hari saja. Karena kanker diotaknya sudah sangat parah mencabuti sisa nyawanya.
Ruang-ruang kalbuku retak. Puing-puing air mataku berceceran memenuhi rona pipiku. Tak ada lagi yang menghalangi keinginannya. Akhirnya saran itu kuterima dan harapan mendaki langit 7 susun terhapus dalam pikiranku.
Sungguh keakuran antara anak dan bapaknya lenyap terhuyung oleh derasnya arus sungai. Hati teriris tapi tak mampu kuberkutip. Kubiarkan cobaan lalu-lalang diatas pundak penderitaan, mencabuti tawa dari sangkar-sangkar emas. Jauh dilubuk hatiku tertera ketidak tegaan melihatnya hidup tersingkir. Akan tetapi, tak ada lagi gerbang terbuka menuju titik terang selain korban perasaan.
Begitu sulit rintangan hidup ini. Semua Nampak kontras denganku. Aku yang terjaring kepedihan menatap diam pada mereka(anak-anakku) yang tertawa lepas tanpa beban.
“siapakah yang benar dan apakah yang salah?” pikirku saat
itu.
Tiba-tiba suara memanggil terdengar direlung indraku. Aku fikir itu hanya alusinasiku saja. Serentak jiwaku tertarik ingin menemuinya, aku terbayang-bayang jeritan olehnya. Dia membutuhkan pertolonganku. Dia membutuhakanku. Hanya kalimat itu yang tersendat dikerongkongan pita suaraku.
”Aku ingin menemui bapakmu, dia sedang membutuhkanku saat ini” kata pamitku pada mereka.
“Silahkan Ibu menemui orang itu asalkan dia tak kembali lagi mengotori rumah kita,” balasnya.
Aku tau ucapan pedas kan meletus. Kusiapkan kuda-kuda tuk melawannya. Aku pergi tanpa satu kata apapun dan mengabaikan ucapan gila yang tergambar. Sejahat-jahatnya dia, tapi dia tetap bapak dari anakku.
Langkah demi langkah terhias pusaran air melingkar diwajah. Hanya itulah yang dapat kulakukan saat lorong jiwaku merasa sakit. Mereka sedang dihasut oleh syetan-syetan terkutuk. Semoga malaikat menyelamatkan mereka dari dalamnya muara dendam.
“Kenapa kau menemuiku, aku tak rela jika mereka membencimu hanya karena aku. Biarlah aku sendiri. Mungkin ini adalah jalan yang harus aku tempuh untuk menebus kesalahanku”.Air mata berlinang tak tertahankan. Sebesar itukah dosa diperbuat hingga Tuhan menghukumnya sebesar ini.
Badannya mulai mengering rapat pada isi dan tulangnya, sehingga sela-sela kulit keriput halus nampak mengkilat, matanya tak bercahaya mengikuti arus benang darah yang memucat, serta tenaga terkuras oleh penyakit yang menemaninya. Tapi tetap saja masih melihat perlakuan yang tak sepantasnya terlihat olehnya. Rasa kasihan seharusnya yang diberi tak muncul dipermukan untuk hidup bernapas mencari O2. Dia menjabak tanganku, meminta maaf penuh sesal setelah itu barulah ia tertidur pulas.
Suara ayam mengupas malam menjadi siang. Aku kembali dengan Belanda didada. Mereka berjejer diruang tamu dengan pakaian rapi dan lekas menjemput bus tujuan Wonomulyo-Mamuju.
“Nalamba innao anaq?” Dengan segera dia menjawab dengan pelan dan menusuk. “Janganmi kita muurus, urusmi saja itu orang sakit.”
Kesabaranku habis tak tersisa. Teriakkan menggelegar mengalahkan sambaran petir ditengah hujan. Mereka ternganga menyaksikan urat wajah memerah dengan pandangan tajam penuh amarah.
Mereka terdiam dan segera berlutut memohon maaf. Hatiku yang terlanjur sakit tak tahan melihat mereka yang sangat buas.
Aku pergi dan membiarkan mereka melakukan sesuka hatinya.
“Aqdappanganaq anaq, ajappangngianga kandiqmu apaq iyau andiammo anggaqu dimatammu.”
Kakiku tertahan dengan lingkaran tangan anak sulungku. Semakin gaduh hatiku. Meski tak tega untuk menghukum mereka dengan kepergianku, namun semua sudah terluntah dan tak akan kutunduk untuk mengembalikan kata-kataku. Mereka sudah tak terarah lagi dan kuingin merangkulnya dalam satu barisan.
Tak terhela niatku. Semua tak menyangka. Kuhadapkan
pikiranku padanya. Akhirnya kudatangani dia, menemani dukanya.
Melihatku datang dengan tentengan tas berisikan pakaian. Keningnya berkerut menyimbolkan tanya di tengah jidat. Kuletakkan barang dan menyuapinya dari bekal yang kubawa. Tak sepatah kata pun diuraikannya. Tanpa sadar bekalan itu tak tersisa. Aku senang melihatnya. Dia terlihat lahap, pancaran wajahnyapun tampak berubah.
“Harapan untuk sembuh mungkin sudah dekat,” kataku.
Keesokan harinya terlihat jalan sepi menjadi ramai. Tersibukkan oleh mereka para penyembah. Pakaian rapi, sajadah dan peci serta sarung kotak-kotak terpampang pada mereka untuk sholat jumat berjama’ah di mesjid Babut Taqwa Mapilli.
Serta merta dia bertanya padaku.
“Masih banyakkah orang lewat?”
“Iya, masih”
“Syukurlah semoga esok jumlahnya semakin bertambah”
Aku mengaminkan kata itu. Dan memberi dia senyum manis. Dia pun membalas senyuman dan langsung mengulurkan tangan. Sederhana tapi sangat bermakna. Begitulah arti katanya.
“Aqdappangana maiqdi, upamongeqi nyawamu annaq nyawa
anaqta”
“Anu pura, pura tomi tia. Uaqdappangammoqo dilino lattu aheraq”
Adzan berkomandang. Bisikan syahadat terdengar darinya. Hingga menutup mata dengan napas terhenti.Terlihat tenang, bagai sedang tertidur pulas. Terus saja kupanggil namanya, meminta membuka mata dan tersenyum padaku. Terlalu cepat dia pergi meninggalkanku dengan derita. Ingin teriak dan menyuruh malaikat membangunkannya kembali, sekedar memanggil namaku sekejap. Kuingin merasakan dunia kedua yang baru menjemput kehidupan kami. Istighfar itulah yang sering kali kulakukan.
Ditengah kesedihanku sentakan pelan kaki terdengar. Anak-anakku datang, bermaksud menjenguknya. Pintu hati mereka sudah mulai terbuka, ingin menerima keadaan yang menjadi takdir itu. Tapi jasad terlentang masih tersembunyi dari mereka. Aku tak segera memberitahukan tentang kenyataan mayat itu.
“Ada apa nak?”
“Maafkan kami, kami kesini untuk meminta maaf pada Ibu dan Bapak?”
Air mata kubendung. Sekuat tenaga kusegel ditengah serpihan hatiku. Tak henti-hentinya kuberi nasehat agar memaafkan orang yang ingin bertobat. Dibalik itu, aku masih heran apakah gerangan yang membukakan perasaan mereka. Pertanyaan itu dijawabnya. Sebelum kegubuk kami, kejadian aneh menimpa. Saat tertidur serentak mereka bermimpi melihat Bapaknya adzan dan memanggil memanggilnya sambil menangis mengucapkan kata maaf sekaligus kata berpisah serta berpesan agar mereka menjadi anak yang sholeh.
Perasaannya luluh setelah kejadian itu dan beranjak untuk meminta maaf kepada kami. Saat mereka hendak menjabat tangan Bapaknya. Aku lekas memberitahukan bahwa jasad itu sudah menjadi mayat.
Bapaknya telah tiada dan mereka terlambat. Hening, tangisan dan penyesalan menghimpit. Nasi telah menjadi bubur. Waktu tak bisa kembali. Hanya saja mereka harus ridho dengan kepergian Bapaknya.
Rasa bersalah tak bisa tertahankan oleh mereka. Namun, apa daya, Tuhan telah menggariskan jalan hidup kami seperti ini. Tak pernah terlupa memanjatkan do’a untuk dirinya dibalik tanah. Dia menyaksikan aku bersama anak-anakku masih berada dalam dunia pana ini. Kupikir dia kembali membawa bahagia tapi dia datang untuk pergi.
Sekian