Jaleswari Pramodhawardani
Deputi V Kepala Staf Kepresidenan
Jakarta – Pada Hari HAM Internasional ke-73 tanggal 10 Desember 2021, Presiden menyampaikan pidato bersamaan dengan pembukaan Konferensi Internasional tentang Islam dan Hak Asasi Manusia (International Conference on Islam and Human Rights). Sebagai sebuah pidato pembukaan konferensi, tentu saja di forum tersebut disampaikan garis besar tentang tanggung jawab dalam pemajuan, penghormatan, perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM (5P HAM).
Kebijakan HAM pemerintah dinyatakan oleh Presiden secara tegas dan jelas, bahwa di tengah krisis kesehatan dan krisis perekonomian akibat pandemi, pemerintah terus berupaya memastikan pemenuhan hak asasi manusia. Bahwa pemenuhan dan perlindungan hak ekonomi, sosial dan budaya (hak ekosob) sama pentingnya dengan penghormatan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik (hak sipol). Bahwa semua warga negara berhak mendapatkan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama, tanpa diskriminasi.
Kami mencatat bahwa sepanjang 2021 memang terjadi beberapa peristiwa yang mencederai kebebasan sipil. Antara lain akibat penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang belum mencerminkan keadilan. Oleh karena itu untuk menjamin kebebasan sipil, Pemerintah telah membuat pedoman penerapan UU ITE dan revisi terhadap UU ITE. Bahkan Presiden telah mengeluarkan amnesti terhadap kasus-kasus UU ITE ini. Sehingga tidaklah tepat jika ada yang menilai Pemerintah meningkatkan represi kepada masyarakat, karena pemerintah justru menghadirkan solusi.
Pembatasan terhadap aksi demonstrasi di masa pandemi memang terjadi sebagai bagian dari protokol kesehatan sebagaimana diatur secara internasional. Hal itu tidak dimaksudkan untuk membatasi hak berekspresi ataupun mengekang kebebasan berpendapat, melainkan untuk melindungi kepentingan yang lebih besar yaitu mencegah penularan wabah yang mematikan.
Kekerasan oleh aparat keamanan baik oleh Polri maupun TNI tidak dibiarkan begitu saja. Proses-proses pemeriksaan terhadap pelaku telah dilakukan melalui jalur hukum. Kita melihat bagaimana Kapolri maupun Panglima TNI bersikap saat peristiwa tersebut terjadi. Sebagai contoh pada kasus Steven di Merauke, hak Steven dipulihkan, direhabilitasi, sementara pelakunya diproses. Begitu juga dengan kasus-kasus kekerasan lainnya. Ini membuktikan bahwa mekanisme HAM telah bekerja ketika peristiwa terjadi.
Pemerintah terus berupaya untuk menjamin hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Regulasi yang berpotensi menghambat sedang ditinjau ulang. Beberapa kasus terkait KBB juga satu persatu terselesaikan, seperti kasus Gereja Yasmin Bogor, Gereja GITJ Jepara, pengungsi Ahmadiyah di Lombok, pengungsi Syiah di Sidoarjo.
Komitmen Pemerintah terhadap penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM yang berat tidak pernah luntur, melalui jalur yudisial dan non-yudisial. Secara yudisial, proses hukum pada Kasus Paniai berjalan dengan dimulainya penyidikan oleh Jaksa Agung. Sementara kasus-kasus yang lain terus dikaji secara mendalam. Selain itu, penyelesaian non-yudisial pun terus diupayakan untuk membentuk mekanisme yang sesuai, yang saat izin prakarsa RUU Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) sedang berproses. Pemerintah juga mempunyai perhatian yang serius terhadap para korban, dengan memberikan bantuan mendesak kepada para korban pelanggaran HAM yang berat. Diantaranya kasus Talangsari, yang dalam prosesnya telah melibatkan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), juga para korban pelanggaran HAM di Aceh yang sedang berproses di Kementerian Hukum dan Ham dan Kementerian Koordinator Bidang Polhukam.
Pada segi kebijakan, terdapat beberapa upaya Pemerintah yang telah berhasil diterbitkan dan yang masih berproses. Tahun 2021 telah terbit Rencana Aksi Nasional-Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) sebagai sarana pengarusutamaan HAM. Telah terbitnya Perpres tentang Komisi Nasional Disabilitas (KND), yang para komisionernya diangkat oleh Presiden pada Desember 2021. Sepanjang sejarah bangsa Indonesia inilah pertama kalinya perhatian kepada hak-hak penyandang disabilitas dilaksanakan melalui pendekatan kelembagaan seperti ini. Pada saat yang bersamaan, kebijakan Bisnis dan HAM, RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), RUU Ratifikasi Konvensi Perlindungan Bagi Semua Orang dari Penghilangan Paksa dan RUU Masyarakat Adat terus digodok secara progresif. Semua ini dilakukan untuk menciptakan iklim yang baik bagi hak asasi manusia di Indonesia.
Pada masa-masa sulit era pandemi ini, pemerintah ingin mengajak warga masyarakat untuk terus optimis, termasuk pada bidang HAM. Optimisme telah terbukti mampu membawa kita bertahan menghadapi Pandemi Covid, sehingga kita bisa menjadi satu dari lima negara yang berhasil menekan laju Covid hingga level terendah, yaitu level satu.
Kantor Staf Presiden (KSP) memberi apresiasi kepada warga masyarakat yang tidak pernah berhenti berjuang memberikan masukan, kritik, dan dukungan bagi penegakkan, pemajuan, penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM di Indonesia. Secara bertahap, upaya terus dilakukan oleh pemerintah untuk diwujudkan dan dipenuhi. (KSP)