Mamuju, mandarnews.com – Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Sulawesi Barat (Sulbar) menggelar diskusi virtual bertajuk “Terpaan Ekstremisme dan Terorisme di Dunia Maya”, Selasa (1/12).
Dalam kegiatan tersebut, narasumber Iim Halimatussa’diyah dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta memaparkan sejumlah data terkait fenomena beragama di dunia maya.
“Dari hasil riset PPIM UIN Syarif Hidayatullah, menunjukkan adanya politik narasi keagamaan dan polarisasi di dunia maya. Kehadiran media sosial nyaris menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh manusia masa kini,” ujar Iim.
Dalam konteks keagamaan, lanjutnya, media sosial bisa menjadi sarana sosialisasi termasuk berperan dalam diskursus agama atau paham keagamaan tertentu. Dengan merujuk pada teori yang dikemukakan oleh Tabaar, narasi keagamaan berubah dan dibentuk oleh kompetisi politik. Padahal selama ini dipahami, agama mampu memanfaatkan politik.
“Jika dilihat dari spektrum keberagamaan ditemukan tiga bentuk, yakni liberalisme, konservatisme, dan moderatisme. Sementara dalam konteks polarisasi, ditemukan adanya pembelahan secara ekstrem dalam bentuk identifikasi retorika ‘kita’ dan ‘mereka’,” kata Iim.
Dalam data yang dipaparkan Iim, sebanyak 67,2 persen konten narasi keagamaan konservatif. Sementara narasi moderat masih menempati posisi di bawah, yakni sebanyak 22,2 persen.
“Ini yang kita hadapi, kalau tidak setuju jihad berarti bukan pro Islam atau kalau tidak pro khilafah akan dianggap tidak membela Islam. Jadi, selalu ada sosok kambing hitam untuk polarisasi massa,” sebut Iim Halimatussa’diyah.
Jika dilihat dari persebarannya, tambahnya, memang masih terkonsentrasi di wilayah Jawa. Untuk Sulawesi Barat (Sulbar) sendiri, cenderung masih belum terpotret sebagai wilayah yang rawan narasi polarisasi agama. Namun secara nasional, ada kecenderungan irisan yang sama antara momentum politik dengan narasi keagamaan.
Melalui webinar ini, Iim menyarankan agar terus dibuka ruang dialog yang egaliter satu sama lain serta terus-menerus mendorong sikap kepercayaan antara sesama anak bangsa.
Sementara itu, budayawan Mandar Bustan Basir Maras mengungkapkan, ada kecenderungan para ulama terhisap dalam kesibukan-kesibukan politik. Para penjaga kehormatan musala, langgar, dan ruang kebudayaan kemudian hilang.
“Nah, pada momentum inilah radikalisme masuk ke ruang ini. Banyak Taman Pendidikan Al-Qur’an, pola ngaji berganti menjadi TPA. Pola masa kini dianggap sebagai implementasi modernitas. Dalam peristiwa perpindahan ini, di sinilah sejumlah takmir masjid, TPA, anak-anak kemudian diajarkan dengan tema-tema radikalisme,” urai Bustan.
Ia menjelaskan, berbeda dengan peristiwa masa silam sebab di rumah guru ngaji diajarkan tentang kearifan. Sementara yang terjadi saat ini adalah transfer pengetahuan, tidak ada lagi transfer energi keberkahan sehingga ini penting untuk ditanamkan kembali.
“Melemahnya budaya-agama saat ini karena mengalami kekalahan militansi, baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Ini dapat dilakukan dengan menguatkan peran para tokoh ulama guru ngaji di berbagai pelosok kampung,” ucap Bustan.
Direktur Intelijen dan Keamanan (Intelkam) Kepolisian Daerah (Polda) Sulbar Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Iwan Surya Ananta menuturkan, menjelang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), ditengarai adanya sejumlah simpatisan kelompok terorisme.
“Sehingga menjelang pilkada dilakukan pengawasan ketat di wilayah perbatasan,” beber Iwan.
Selain itu, pihaknya juga telah melakukan pembinaan terhadap mantan narapidana teroris.
“Ini tidak sederhana. Sulit untuk dimatikan secara keseluruhan,” pungkas mantan Wakil Direktur Intelkam Polda Jawa Timur ini. (Sugiarto)