Majene, mandarnews.com – Sejak pagi, rumah dua korban sandera Abu Sayyaf di Poniang Tengah, Desa Tallu Banua, Kecamatan Sendana, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat (Sulbar) dipenuhi keluarga dan warga sekitar, Jumat 15 September 2017.
Mereka tak sabar ingin menyaksikan dua korban sandera, Saparuddin bin Koni dan Syawal Bin Maryam setelah disandera komplotan bersenjata selama sepuluh bulan.
Tepat pukul 16.19 wita, rombongan yang dikawal polisi dan Satpol PP Majene tiba di Poniang Tengah. Seketika jalan Trans Sulawesi ditutup karena warga berlarian ke mobil polisi yang bawa Saparuddin dan Syawal.
- Baca kumpulan berita tentang : Dua Warga Majene Disandera Abu Sayyaf
Desak-desakan warga pun terjadi karena mereka berlomba-lomba ingin menyaksikan wajah keduanya. Tiba di depan rumah Saparuddin, isak tangis haru pun pecah. Keluarga dan korban sandera pun berpelukan sambil menangis.
Acara kemudian dilanjutkan penyerahan dua WNI itu dari wakil Kemenlu kepada Bupati Majene, Fahmi Massiara. Selanjutnya, pemberian bantuan dana dari pihak Kemenlu kepada Saparuddin dan Syawal.
“Ini berkat kerja sama yang baik antara Pemda dan pihak Kemenlu akhirnya upaya ini berhasil. Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak dan jajaran Kemenlu,” kata Fahmi Massiara.
Pada kesempatan itu, Saparuddin menceritakan kejadian saat dia disandera di perbatasan Malaysia dan Filipina. Ia mengatakan, tiba speed boat milik perompak itu mendekati kapal mereka.
Lalu ia sempat dipukul senjata karena enggan dibawa perompak tersebut. Namun upaya tersebut tidak berhasil dan ia dan Syawal pun langsung dibawa ke perahu mereka.
Saparuddin mengaku, sempat dibawa ke beberapa pulau sebelum akhirnya dibawa ke tempat para perompak tersebut. Ia mengungkapkan, komplotan yang menyanderanya itu bukan dari kelompok Abu Sayyaf tapi hanya mengatasnamakan.
“Mereka menyamar, bukan sebenarnya Abu Sayyaf. Abu Sayyaf yang sebenarnya di Marawi,” ungkapnya.
Komplotan yang menyanderanya itu tinggal di hutan dan berpindah-pindah. Ia menyebutkan, kelompok itu sudah sering melakukan penyanderaan untuk mencari uang.
Selanjutnya, Saparuddin menjelaskan proses pembebasan dirinya. Ia membantah kalau dia berhasil melarikan diri saat terjadi kontak senjata antara tentara Filipina dan komplotan tersebut seperti diberitakan banyak media.
Ia menceritakan, hari itu komplotan bersenjata mengatakan, Saparuddin dan Syawal akan bebas karena sudah ada uang tebusan 2 juta peso. Lalu sejumlah orang datang menjemput dan dibawa ke suatu tempat.
Kemudian, ditempat itu ada pertemuan dua kelompok. Ia dan Syawal tidak tahu apa yang mereka lakukan. Saparuddin mengaku, ia tidak melihat uang tersebut sehingga ia tambah cemas.
Setelah itu, Saparuddin dan Syawal dibawa ke arah kota. Ditengah perjalanan, mobil yang membawanya mogok tepat berada di dekat segerombolan tentara Filipina.
“Salah seorang tentara Filipina datang dan bilang, Assalamualaikum, saya jawab, Waalaikumsalam. Tentara bertanya, kamu dari mana? Saya bilang dari Sulawesi, langsung bilang, turun kamu, sudah lama saya cari,” kata Saparuddin menirukan percakapannya dengan tentara Filipina.
Saparuddin dan Syawal pun diantar ke Markas mereka kemudian dibawa ke beberapa tempat dan terakhir mereka bertemu dengan pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Filipina. Selanjutnya, ia menjalani beberapa pemeriksaan medis dan dibawa ke Indonesia
Setelah semua rangkaian serah terima selesai, perwakilan Kemenlu, Fadli Ahmad dikonfirmasi. Ia menyebutkan, bantuan yang diberikan tersebut adalah modal hidup beberapa bulan ke depan. Saat dikonfirmasi soal pemulihan mental, ia menyebut itu adalah tanggung jawab Pemda.
“Kan sudah diserahkan, jadi itu tanggung jawab Pemda disini,” kata Fadli Ahmad.
Saat ini, kedua WNI tersebut berada di rumahnya. Saparuddin malam tadi menggelar syukuran. Sementara Saparuddin kini tinggal di rumah anaknya di Poniang Tengah. (Irwan Fals)