Oleh : Zulkarnain Hasanuddin, S.E,.M.M
“Majene mapaccing”—dua kata sederhana yang bagi sebagian orang mungkin hanya terdengar seperti slogan kebersihan kota. Tetapi bagi masyarakat Majene, terutama sejak kepemimpinan Bupati Dr. Achmad Syukri, MM dan Wakil Bupati Dr. Rita Mariani Basharoe, M.Pd (2025–2030), frasa ini menjelma menjadi spirit baru. Ia bukan sekadar ajakan memungut sampah di hari Minggu atau membersihkan selokan sebelum musim hujan. Ia jauh lebih dalam, seperti akar halus yang menembus ke tanah nilai, etika, dan moral birokrasi. “Mapaccing” bukan hanya bersih secara fisik; ia juga mengandung makna kesucian batin, kejernihan niat, keteraturan perilaku, dan kebersihan struktur kekuasaan.
Gerakan ini lahir bukan dari kekosongan, tetapi dari kesadaran panjang bahwa pembangunan fisik bukan satu-satunya tolok ukur keberhasilan daerah. Sebuah kota bisa saja memiliki gedung megah, jalan halus, lampu-lampu kota yang rapi, tetapi tanpa integritas birokrasi, semua itu mudah runtuh. Maka “Majene mapaccing” adalah upaya membangun ulang fondasi moral pemerintahan—membentuk birokrasi yang jujur, bersih, dan melayani warganya tanpa pamrih. Di bawah permukaannya, gerakan ini merupakan upaya sistematis untuk menata ulang budaya kerja yang selama puluhan tahun dipenuhi kompromi, patronase, dan pola lama yang sulit ditinggalkan. “Mapaccing” menjadi pedoman moral sekaligus etos kerja, yang menyentuh bukan hanya aparatur sipil negara, tetapi juga masyarakat sebagai pengawas alami pemerintahan.
Pada awal-awal kampanye politik, sebagian orang mungkin mengira bahwa istilah ini akan berakhir seperti slogan-slogan pemerintahan lain: hidup sebentar lalu mati ketika euforia berakhir. Namun waktu membuktikan bahwa gerakan ini tidak berhenti sebagai slogan. Ia dirawat, disosialisasikan, disuntikkan ke setiap ruang birokrasi. Di kantor-kantor OPD, di rapat internal, di forum musrenbang, di ruang-ruang sekolah, bahkan di pertemuan-pertemuan desa, “Majene mapaccing” selalu disebut bukan sebagai jargon, melainkan sebagai arah moral. Ketika kita menyadari ‘majene mapaccing’ bukan slogan birokrasi dan pesan moral semata, melainkan panggilan untuk mensucikan hati, maka gerakan ini pun mengimpus ke ruang-ruang spritual masyarakat majene, melalui mimbar khutbah di masjid-masjid, hingga menjadi narasi kebaktian di gereja-gereja umat kristiani, untuk menyublim keraguan menjadi harapan. Bahwa gerakan ‘majene mapaccing’ ini-penting digemakan di tempat-tempat suci, karena ditempat inilah kebenaran mengalir tanpa keraguan.
Ketika pemerintah daerah mulai mendorong implementasi “mapaccing” di birokrasi, tantangan pertama adalah mengubah cara pandang aparatur. Bagi sebagian ASN yang sudah lama terbiasa bekerja dengan pola instruksi vertikal, nilai integritas sering kali terdengar abstrak. Namun pendekatan baru tidak lagi menekankan hukuman terlebih dahulu, melainkan menanamkan kesadaran bahwa bersih adalah kebutuhan bersama. ASN diajak memahami bahwa birokrasi yang bersih bukan hanya baik bagi masyarakat, tetapi juga melindungi mereka sendiri dari risiko moral dan hukum pelatihan tentang etika publik menjadi agenda rutin. Diskusi mengenai akuntabilitas diperluas. Penggunaan teknologi informasi, terutama sistem digital untuk perizinan, keuangan daerah, dan pelayanan publik, diperkuat agar interaksi antara masyarakat dan pejabat menjadi seminimal mungkin. Sebab dalam banyak kasus, celah korupsi justru muncul dari interaksi yang tidak perlu dan dari ruang abu-abu yang belum terdokumentasi.
Keberanian untuk menolak korupsi mulai diperlihatkan oleh beberapa pegawai. Ada yang menolak gratifikasi kecil, seperti bingkisan hari raya; ada yang menolak “titipan” dalam pengadaan barang dan jasa; ada pula yang menolak tekanan untuk memanipulasi data laporan agar terlihat indah. Dalam dunia birokrasi, keberanian seperti ini tak selalu mudah. Namun keberanian pertama selalu menjadi sinyal bagi perubahan. Ia membuka pintu keberanian berikutnya.
Seiring waktu, kultur baru muncul: budaya melapor. Masyarakat tidak lagi takut menyampaikan kecurigaan. Pegawai tidak lagi sungkan memberi informasi. Media sosial resmi pemerintah menjadi kanal yang dipenuhi aduan publik mengenai prosedur layanan. Dan yang paling menarik, pemerintah benar-benar merespons, bukan sekadar menjadikannya formalitas.
Di sinilah “Majene mapaccing” memperlihatkan wujudnya paling nyata: ia menjadi gerakan kolaboratif antara masyarakat dan birokrasi. Kebersihan kota tetap menjadi agenda penting. Ini bukan hanya soal sampah, tetapi simbol keteraturan dan komitmen. Setiap Sabtu, pegawai memenuhi pasar, jalan, dan sudut-sudut kota untuk memastikan Majene tetap bersih. Namun gerakan fisik ini bukan inti dari “mapaccing”; ia adalah representasi visual dari nilai moral yang jauh lebih besar—membersihkan ruang publik sebagai simbol membersihkan hati dan perilaku. Setiap selokan yang digali, setiap sampah yang diangkut, setiap fasilitas yang diperbaiki, seolah-olah menjadi metafora pembersihan di ruang birokrasi: membersihkan proses kerja dari endapan korupsi, mengalirkan sistem pemerintahan agar tidak tersumbat intrik dan kepentingan pribadi.
Namun jalan menuju birokrasi bersih tidak mulus. Seperti halnya reformasi di daerah mana pun, Majene juga menghadapi resistensi. Ada pejabat yang kehilangan kenyamanan. Ada jaringan lama yang merasa terancam. Ada kelompok yang mencoba menyabotase perubahan demi mempertahankan “pendapatan sampingan”. Ada pula bisik-bisik bahwa gerakan bersih hanya akan membuat birokrasi lebih lambat—padahal justru sebaliknya, bersih membangun efisiensi. Sebagian resistensi muncul dalam bentuk pasif: pekerjaan yang sengaja diperlambat, koordinasi yang tidak maksimal, atau keengganan untuk menyelaraskan diri dengan perubahan digital. Resistensi lain muncul dalam bentuk aktif: menggiring opini publik bahwa perubahan hanyalah pencitraan. Perubahan yang sejati tidak mengambil jalur mudah. Ia harus melawan tradisi yang telah berakar.
Untuk memperkuat gerakan ini, pemerintah mulai membangun struktur birokrasi yang mendukung sistem bersih. Pengawasan internal diperkuat. Sistem pelaporan keuangan berbasis aplikasi diperluas. Layanan publik di desa-desa mulai ditata agar lebih transparan. Dana desa, anggaran kecamatan, hingga belanja daerah diperiksa dengan standar ketat. Beberapa pejabat yang terbukti melakukan pelanggaran dikenakan sanksi. Langkah ini dianggap berani, tetapi esensial. Birokrasi tidak pernah berubah hanya dengan teori; ia berubah melalui keteladanan dan keberanian mengambil tindakan. Namun keindahan “Majene mapaccing” justru terlihat ketika nilai itu merembes keluar dari tembok kantor pemerintahan. Ia mulai ditiru oleh sekolah-sekolah, komunitas, dan organisasi masyarakat. Anak-anak ikut menanamkan nilai kejujuran dalam lomba-lomba kecil. Para guru menggunakan slogan ini sebagai cara baru mendidik karakter. Para orang tua menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari: tidak membuang sampah sembarangan, tidak meminta bantuan pemerintah tanpa hak, tidak mengambil apa pun yang bukan miliknya.
Gerakan moral selalu bersifat menular—baik atau buruk. Dan “mapaccing” menular sebagai kebaikan. Dalam lingkup birokrasi yang lebih besar, gerakan ini memberikan arah baru. Para pegawai mulai melihat bahwa integritas bukan hanya slogan, tetapi peluang untuk bekerja dengan tenang, tanpa ketakutan akan pemeriksaan mendadak atau tekanan politik. Mereka yang bekerja jujur justru merasa lebih aman. Bagi mereka, “mapaccing” adalah bentuk perlindungan moral.
Di sisi lain, masyarakat mendapatkan kepercayaan baru terhadap pemerintahannya. Aduan lebih cepat ditanggapi. Proses perizinan menjadi lebih jelas. Informasi anggaran lebih mudah diakses. Pelayanan publik mulai bergerak dari pola “mengatur” menuju pola “melayani”, sesuai filosofi administrasi modern. “Majene mapaccing” akhirnya menjadi jembatan antara idealisme dan realitas. Ia membuktikan bahwa pemerintahan bersih bukanlah utopia, melainkan praktik yang bisa dijalankan jika nilai moral dipadukan dengan sistem yang baik. Nilai “bersih” itu bukan hanya untuk pejabat, tetapi juga masyarakat, lingkungan, dan masa depan generasi.
Pada akhirnya, narasi tentang “Majene mapaccing” bukanlah narasi tentang daerah kecil di pesisir Sulawesi Barat saja. Ia adalah narasi universal tentang bagaimana pemerintahan dapat dibangun melalui nilai, bukan sekadar regulasi. Tentang bagaimana gerakan moral mampu mengubah birokrasi. Tentang bagaimana keberanian menolak korupsi mampu menginspirasi generasi baru. Ia adalah pengingat bahwa sebuah daerah tidak maju hanya karena anggaran besar, proyek megah, atau pidato panjang. Daerah maju ketika nilai-nilai dasarnya dijaga, ditanamkan, dan diwariskan. Ketika setiap pegawai merasa bangga untuk bekerja bersih. Ketika masyarakat melihat pemerintah sebagai cermin dirinya—bukan sebagai musuh atau alat kekuasaan.
“Majene mapaccing” adalah langkah kecil yang dampaknya panjang—gerakan moral yang membentuk masa depan birokrasi Majene. Selama nilai itu dijaga, selama integritas menjadi cahaya yang memandu, Majene bukan hanya menjadi kota yang bersih dari sampah, tetapi juga bersih dari praktik yang selama ini menahan kemajuan. Dan dari situlah kesejahteraan tumbuh—perlahan, tetapi pasti. (*)
