Majene, sebuah nama daerah di pesisir Barat pulau Sulawesi. Yang baru saja di tetapkan hari kelahirannya yang tepat dijatuhkan pada tanggal 14 Agustus 1545. Jika kita memandangnya dari sudut pandang historis. Majene adalah suatu kota yang dahulunya merupakan ibukota di masa pemerintahan Hindia Belanda, yang lebih tepatnya sebuah ibukota dari Afdeling Mandar yang mungkin di zaman modern ini disebut Sulawesi Barat.
Di masa lampau, Majene merupakan satu-satunya daerah produktif penghasil Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu menghasilkan para pendidik generasi muda yang kian mumpuni dalam hal ini guru. Dan juga Majene dulunya merupakan religiouness centre atau pusat keagamaan yang secara otomatis memiliki para pemuka agama yang terpandang di kawasan Sulawesi bagian Barat.
Dari sinilah kita bisa menyimpulkan bahwa Majene dari sudut pandang sejarah mampu menyandang predikat “Malaqbi”. Kata Malaqbi memiliki makna yaitu memiliki kelebihan dibandingkan yang lainnya. Jadi, majene
merupakan daerah yang memiliki kelebihan dibandingkan daerah-daerah lain baik dari segi sifat, kultur, dan adat istiadatnya di tanah Mandar (Sulawesi Barat).
Tapi kini, terdengar kabar dari rantauku bahwa Majeneku kini tak semalaqbi dulu lagi, terdapat serentetan peristiwa miskinnya moral mengerogoti Majeneku kini. Para generasi yang memiliki potensi besar dikemudian hari, kini seakan digerogoti suatu krisis moral yang tak berujung.
Banyaknya kasus merajalela, mulai dari korupsi dari para birokrat yang memanfaatkan amanah jabatan yang disandangnya, adanya oknum anggota DPRD, oknum Satpol-PP bahkan oknum jamaah tabligh yang melakukan
aksi bejatnya terhadap anak di bawah umur, hingga kasus para pendidik dan mahasiswanya yang berpesta sabu. Ini rentetan kasus yang begitu ironis dikarenakan mereka ini notabene sebagai panutan di masyarakat.
Apa yang terjadi saat ini dengan Majeneku, Majenemu, Majene kita
bersama?? Apa kita harus tertunduk lesu dan mengatakan bahwa inilah dinamika sosial yang harus diterima begitu saja?? Apakah predikat sebagai religiouness centre itu sudah tidak patut lagi di mandatkan ke Majene??
Jawabannya semua terletak pada kita, sepatutnya itu bukanlah problematika mandeg yang tak memiliki jalan keluar, mari kita kembalikan masa dimana kata malaqbi itu disandang Majene.
Mungkin salah satu cara mengembalikannya adalah dengan program yang selalu di gembar-gemborkan oleh Bapak Presiden Terpilih kita Bapak Joko Widodo yaitu melalui “revolusi mental”. Meskipun, revolusi merupakan
suatu proses panjang yang memiliki tantangan yang luar biasa. Para revolusioner suatu bangsa yang diantaranya seperti Bung Karno yang begitu berjuang keras dalam melakukan revolusi kemerdekaan dan Ahmadinejad
yang melakukan revolusi besar di Iran dari berbagai sektor buktinya mampu melakukannya meskipun harus terdapat benturan fisik dan sebagainya. Memang ketika kita membutuhkan suatu revolusi, maka harus melakukan
perjuangan yang luar biasa beratnya. Tetapi pada program Presiden terpilih kita, revolusi yang akan dilakukannya dengan melalui aspek benturan non-fisik. Karena memang tujuannya mengobati mental para generasi muda yang seakan rusak. Meskipun sampai saat ini belum dijelaskan secara eksplisit mengenai metode revolusi mental yang diusungnya. Revolusi mental dipandang para pakar saat ini sebagai langkah yang konkrit dalam memperbaiki moral dan akhlak anak bangsa ke depannya.
Dan revolusi mental mungkin bisa juga diterapkan di kabupaten yang kita cintai ini guna mengembalikan apa yang menjadi keistimewaan kota kita yang masih memiliki kekentalan budaya Mandar yang seutuhnya ini. Mungkin salah satu upaya yang dilakukan adalah pembuatan peraturan daerah (perda) tentang kemandaran.
Yang merekomendasikan materi kemandaran kedalam kurikulum dan di ajarkan secara rutin di setiap sekolah di Majene, sehingga nila-nilai budaya kemandaran kita yang malaqbi tidak tergerus oleh era globalisasi yang membuat masyarakat menganut paham westernisasi dan melupakan budaya lokal yang dimilikinya. Karena salah satu penyebab terjadinya beberapa kasus krisis moral diatas adalah dampak dari perkembangan tekhnologi.
Dan juga kita harus lebih memperhatikan lagi keeksistensian para pemuka
agama, menekankan pendidikan moral di keluarga. Sebagai langkah rekonstruksi moral di kalangan masyarakat. Sekarang bukanlah saatnya saling menyalahkan mengenai problematika sosial yang dihadapi oleh daerah
kita ini, tetapi mari kita bersinergi dengan semua pihak dalam hal ini, pemerintah, pemuda, mahasiswa, dan semua lapisan masyarakat guna mengembalikan ke”malaqbian” kota majene ini. Trims.