Ini adalah sekelumit kisah perjalanan kami berempat, saya bersama tiga orang dosen UIN Alauddin Makassar, ke sebuah kota kecil di tepi laut Atlantik. Kota itu bernama Antigonish, Nova Scotia, Canada. Kedatangan kami ke kota kecil yang berjarak dua hari perjalanan dari Makassar ini adalah setelah melampaui beberapa tahapan seleksi dalam program SILE/LLD kerjasama UIN Alauddin Makassar dengan pemerintah Canada.
Berdasarkan undangan yang kami terima dari the World University Service of Canada (WUSC), kami belajar di Coady International Institute, sebuah lembaga pendidikan pengembangan masyarakat milik St. Francis Xavier University Canada.
Untuk mencapai Antigonish, perjalanan yang harus dilalui butuh perjuangan lahir batin.
Saya meninggalkan rumah kami di Samata, Gowa pukul 11 pagi , Sabtu,9 Mei 2015. Berangkat ke Jakarta naik Garuda, tiba sekitar pukul 2 siang waktu Jakarta. Dari Jakarta kami naik the Royal KLM tujuan Amsterdam, Belanda. Ternyata, untuk ke Belanda pesawat harus transit dulu di Sepang, Malaysia. Kami tinggalkan Jakarta awal malam, pukul 18.58 WIB. Di jendela pesawat, hujan membentuk garis-garis miring. Pecahan cahaya lampu dan samar penanda arah, seperti menyediakan ruang yang indah untuk menuliskan sebuah puisi.
Pesawat the Royal KLM, sama seperti penerbangan antar negara lainnya, ukurannya besar sekali. Satu barisnya memuat 10 penumpang. Pesawat domestic kita seperti Garuda punya satu lorong di tengah. The Royal KLM punya dua lorong. Setiap penumpang boleh mencas hape di tempat duduk masing masing, boleh menonton sepuasnya dari puluhan pilihan tontonan, boleh chatting dengan penumpang lain melalui layar di sandaran kursi depan, boleh mendengar music dari headphone yang dibagikan. Hampir setiap sejam pramugari/a datang membawakan ini dan itu.
Kami sampai gembung karena tak henti hentinya ditawari makan dan minum di pesawat.
Pelayanan prima memang sangat diperlukan dalam perjalanan yang sangat panjang seperti itu. Sekitar dua jam jarak tempuh Jakarta-Kuala Lumpur, harus kami lanjutkan lagi ke Amsterdam dengan waktu tempuh 12 jam. Artinya kami akan menempuh 14 jam total untuk mencapai Amsterdam.
Dari Kuala Lumpur ke Amsterdam, kami (tiga orang Bugis dan satu orang Mandar) sudah mulai was-was dengan makanan yang diantar pada kami.
Setiap makanan disodorkan, kami menanyakan pada pramugari isinya apa. Maklumlah, di penerbangan macam ini, tidak disediakan makanan halal. Makanan yang diantar juga aneh-aneh untuk lidah orang Mandar. Tetapi uniknya, beberapa makanan cenderung mirip makanan tradisional orang Indonesia. Ada yang mirip asinan bogor. Ada yang seperti rujak. Tapi tidak ada yang mirip bau peapi dan buras. Kami makan seperlunya dan menghabiskan roti plus mentega yang sepertinya paling aman di antara semua sajian.
Saya tak bisa tidur di pesawat. Itu susahnya menjadi saya. Jadi, selain nonton, makan, ke toilet dan ngobrol jika teman-temanku terjaga, pekerjaan saya adalah mengawasi langit dan layar peta yang menggambarkan posisi dan ketinggian pesawat. Saya lihat bahwa pesawat kami ini akan terbang di atas beberapa wilayah. Selepas dari Kuala Lumpur, pesawat akan terbang diatas laut Andaman, hingga ke aats wilayah yang namanya mirip wilayah di India. Kebanyakan baru kudengar namanya seperti Balasore, Ranchi, Philibit. Lalu masuk ke tempat yang sepertinya Rusia dan Afganistan seperti Nukus, Belgorod.
Tak lama kemudian, nama nama yang kukenal bermunculan: Warsaw, Berlin, Hannover, dan itu dia, kota yang dibelah oleh aliran sungai Amstel yang terkenal itu.
Sepanjang perjalanan 12 jam itu, malam. Malam yang sangat panjang, seolah olah bersambung-sambungan dari satu langit ke langit berikutnya. Cuaca yang cerah dan bersih membuat saya dapat melihat kerlip cahaya yang jauh, 30 ribuan kaki di bawah kami. Sedang di luar, bulan temaram seolah mengambang diam.
Saya takjub pada betapa berbedanya bentuk bulan dari teras rumah masa kecil kami di Somba, dengan yang saya lihat di atas wilayah Asia tengah menuju Eropa. Bulan di Mandar seperti sabit yang berbaring. Sementara di situ bulannya seperti sabit yang ditegakkan.
Tiba di Amsterdam hampir subuh waktu setempat. Pukul 2.57 pagi, Ahad, 10 Mei 2015. Kutengok HP, itu pukul 8.55 pagi di Mandar.
Setelah membersihkan diri di toilet bandara, kami yang saat itu sudah berenam dengan tambahan 2 teman dari UIN Surabaya duduk di ruang transit Airport Schiphol, Amsterdam. Langit beranjak terang di luar sebab pagi di musim panas selalu tiba lebih cepat.
Saya membuka laptop dan berkirim kabar pada keluarga dan teman-teman di Gowa, Sumatera dan Mandar. Perjalanan mencapai Antigonish, NS, Canada memang masih sangat jauh. Tapi setidaknya semua keluarga dan kerabat yang menunggu kabar saat ini sudah boleh sedikit lega bahwa kami sudah tiba di pertengahan jalan menuju tujuan. Di layar BBM saya mengganti status: 10 May, after the longest night ever in my life, it is Schiphol!
(Nurhira Abdul Kadir, lahir di Rappunang, Somba Selatan. Bergiat di komunitas penulis perempuan Mandar, Kappung Beruq-Beruq. Saat ini bekerja sebagai dosen di UIN Alauddin Makassar. Ini adalah tulisan yang dilaporkan berkala dari Antigonish, Nova Scotia, Canada, secara ekslusif, untuk pembaca Mandar News)