Mantan Komandan Korps Marinir, Mayor Jenderal TNI Mar (Purn.) Djoko Pramono
JAKARTA – Perdebatan pada debat IV Pilpres 2019 antara kedua capres, Joko Widodo dan Prabowo Subianto, yang berlangsung Sabtu lalu menyita banyak perhatian. Terutama mengenai salah satu tema debat, pertahanan dan keamanan (hankam), yang mengerucut pada adu opini antara Jokowi yang berlatar belakang sipil, dengan Prabowo yang merupakan mantan jenderal bintang tiga TNI AD mengenai anggaran hankam, industri militer, dan konsep strategis menjaga kedaulatan negara.
Menurut mantan Komandan Korps Marinir, Mayor Jenderal TNI Mar (Purn.) Djoko Pramono, yang menyaksikan debat sejak awal hingga tuntas menilai ada nilai plus dan minus dari kedua kandidat presiden dalam membahas isu-isu seputar hankam.
Ia berpandangan, Jokowi sebagai petahana yang pasti mendapat masukan dari para menteri atau pejabat berlatar belakang militer punya kelebihan dan kekurangan dalam menjelaskan visi-misi di bidang hankam. Sementara, Prabowo yang lebih banyak bertugas di lapangan semasa aktif di TNI, dianggap perlu lebih banyak mengembangkan wawasan dan langkah strategis karena ancaman hankam terkini sudah lebih beragam sesuai dengan perkembangan zaman dan tehnologi.
“Kelebihan pak Jokowi terletak pada kebijakan memprioritaskan industri pertahanan yang sangat tepat dan strategis. Kita harus menuju dan membangun industri pertahanan yang lebih kuat demi memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Sebenarnya, kita sudah mulai dari dulu, namun masih kecil-kecil. Kini sudah menjadi prioritas sehingga kita punya industri alutsista (alat utama sistem pertahanan) seperti pindad, kapal perang, kapal selam, tank, dan juga peluru. Akan terjadi pula transfer tehnologi jika kita memiliki industri pertahanan yang bagus,” jelas mantan jenderal bintang dua ini.
Bicara anggaran pertahanan, mantan Inspektur Jenderal TNI AL ini mengakui bahwa porsi 0,8% dari APBN, atau senilai Rp 110 trilyun masih tergolong kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan anggaran pertahana negara-negara tetangga di Asia Tenggara dan Asia. “Hal itu terkait dengan prinsip, defensif aktif yang kita anut. Namun, harus ada keseimbangan dan saya sangat berharap, anggaran pertahanan secara bertahap harus dinaikkan. Baik untuk memperbesar industri pertahanan kita, atau melengkapi persenjataan yang lebih canggih demi menjaga kedaulatan negara,” ungkap Djoko Pramono.
Terlebih, jika dikaitkan dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas-aktif. Menurut Djoko, dalam mengusung politik luar negeri seperti itu, Indonesia tetap harus siap untuk sewaktu-waktu dibutuhkan penggunaan aktif alutsista dalam menjaga kedaulatan.
“Saya punya pengalaman, dulu kapal TNI AL kita sering ditabrak oleh kapal-kapal nelayan asing yang besar dan punya mesin yang powernya besar. Apalagi senjata kita hanya M16. Namun, sejak ada kapal patroli TNL AL yang cepat, besar, dan dilengkapi senjata otomatis serta misil jarak pendek, maka kita ditakuti oleh para nelayan asing pencuri ikan atau yang ingin mengancam kedaulatan negara. Istilahnya, harus punya modal untuk disegani negara lain,” ungkap Djoko.
Atas dasar itulah, Djoko menyarankan agar dalam membangun sistem pertahana dan keamanan negara, matra laut perlu mendapat prioritas pertama. Alasannya? “Indonesia itu negara yang sangat luas dengan 2/3 wilayah merupakan lautan. Saya sarankan, anggaran pertahanan diprioritaskan untuk menjaga lautan dan wilayah kita yang berbatasan laut dengan negara lain. Pentahapannya, bangun kekuatan laut, lalu udara, dan kemudian darat,” pungkasnya.(rilis)