Mantan Irjen AD, Johny L Tobing
JAKARTA – Purnawirawan perwira tinggi TNI-AD mulai angkat bicara mengomentari debat calon Presiden keempat di Hotel Shangri-La, Jakarta, Sabtu (30/3) malam, yang mengangkat salah satunya tema pertahanan dan keamanan (Hankam).
Dalam debat tersebut, Prabowo Subianto, calon presiden nomor urut 02, menyebutkan pertahanan dan keamanan Indonesia lemah dan rapuh dikarenakan minimnya anggaran pertahanan.
Mengomentari hal ini, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Johny L. Tobing, mengatakan seorang Jenderal seharusnya tidak boleh menyatakan bahwa pertahanan negara lemah.
“Seorang jendral nggak boleh ngomong kalau pertahanan kita lemah! Itu termasuk membuka rahasia negara,” ujar Johny, mantan Pangdam VI/Mulawarman, ketika dihubungi, Rabu (3/4).
Dalam debat tersebut, Prabowo sibuk menyoroti rendahnya anggaran pertahanan, sementara calon Presiden nomor urut 01, yang juga petahana, Joko Widodo mengatakan pemerintah telah fokus pada investasi di industri pertahanan untuk memenuhi kebutuhan pertahanan, meskipun anggaran masih terbatas.
Jokowi juga menyampaikan, ia berencana menaikkan anggaran pertahanan menjadi 1,5 persen dari PDB sejak menjadi Presiden dari tahun 2014. Namun, dalam perjalanannya sulit dilaksanakan karena pertumbuhan PDB yang lambat, sementara ada defisit anggaran yang tinggi.
Mengomentari pemaparan dari kedua paslon, Johny, lulusan Akademi Militer tahun 1983 dari kecabangan Infanteri, mengatakan sejarah panjang Indonesia dari jaman perjuangan hingga 73 tahun merdeka, tidak pernah hanya mengandalkan Alutsita, atau alat utama sistim senjata, dalam dokrin pertahanan negara. Indonesia lebih mengedepankan “sistem senjata sosial.”
“Kita sampai dunia ini kiamat nggak akan mungkin mengejar Amerika, China, tapi kita tidak akan kalah dari mereka kalau sistem senjata sosial ini yang diperkuat. Apa itu? Semangat persatuan dan kesatuan. Nah persoalannya sekarang semangat itu sudah terbelah-belah,” ujarnya.
Johny juga menambahkan, menurut dokrin pertahanan negara, prinsip fundamental pertahanan itu, harus mencakup kekuatan diplomasi, kekuatan intelijen, kekuatan militer, kekuatan ekonomi, kekuatan finansial, kekuatan informasi, kekuatan hukum, dan kekuatan sosial budaya.
“Seharusnya pertarungan dalam debat itu di area itu, lebih ke strategi pembangunan, atau tepatnya pembinaan kekuatan itu,” ujar purnawirawan perwira tinggi TNI AD tersebut.
Prabowo, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat, dalam debat keempat, mengkritik anggaran pertahanan Indonesia yang hanya sebesar 4,4 persen dari total pengeluaran pemerintah atau dibawah 1 persen dari PDB.
Mantan Komandan Jendral Komando Pasukan Khusus (Kopassus) ini juga membandingkan dengan Singapura yang mengalokasikan 30 persen dari pengeluaran pemerintah, atau sekitar 3,3 persen dari PDB untuk pertahanan.
Meskipun hanya dianggarkan dibawah 1 persen dari PDB, menurut data Global Fire Power, kekuatan militer Indonesia, salah satu negara kepulauan terbesar didunia, ternyata menempati posisi 15 dari 137 negara menurut data dari Global Fire Power terkait Peringkat Kekuatan Militer 2019. Level ini satu tingkat di atas Israel yang berada di posisi 16. Sementara, Singapura, meski menggelontorkan dana militer 30 persen dari GDP-nya, berada di peringkat 59.(rilis)