Opini, mandarnews.com – Tidak seperti biasanya, salah-satu kawan saya mendadak baik sekali hari ini. Ia kelihatan lebih bahagia, wajahnya sumringah dan lebih banyak tersenyum. Di meja ruang tamu, berbagai jenis jajanan pasar serta dua gelas kopi hitam siap saji, lengkap dengan satu bungkus rokok kretek.
Ini adalah hari baik, pikir saya. Dalam sebulan, jika tidak ada maksud terselubung—seperti meminjam uang atau motor untuk modal pacaran—perjamuan semacam ini tentu sangat jarang terjadi. Setelah ditelusuri, perjamuan pagi ini ternyata disebabkan oleh kemenangan klub bola andalan kawan saya yang mempecundangi klub lawan dengan skor 5-2. Kawan saya menang judi.
Kawan saya mungkin sedang beruntung, uang makan harian selama seminggu tidak ludes. Saya membayangkan, seandainya klub bola pilihannya kalah, besar kemungkinan seminggu ke depan, seperti biasa, ia akan turun ke jalan menenteng gitar, menyanyikan lagu-lagu perjuangan sembari membawa kardus berukuran kecil bertuliskan ‘butuh duit untuk makan’. Tapi hal demikian tidak terjadi. Kali ini, kawan saya mungkin secara kebetulan beruntung dalam hal memilih.
Setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing. Dalam menentukan pilihan, sebagian kecil dari kita mungkin tepat, tidak sedikit pula yang keliru. Kekeliruan dalam menentukan pilihan bisa jadi merupakan konsekuensi dari sikap tergesa-gesa. Untuk meminimalisir hal tersebut, sebelum menentukan pilihan, ada baiknya kita mempertimbangkannya terlebih dahulu.
Sebagai contoh, dalam hal pilihan politik. Tidak sedikit yang kecewa terhadap pilihan politiknya setelah terpilih. Kurangnya pertimbangan dalam menentukan pilihan menjadi salah-satu penyebabnya. Tidak bisa dipungkiri, kecenderungan memilih selama ini lebih dipengaruhi dua faktor utama yaitu faktor psikologis dan faktor ekonomi.
Tidak peduli visi, misi, kemampuan dan latar belakang si calon, yang jelas, jika sudah memiliki hubungan kekeluargaan, atau merasa memiliki hubungan psikologis yang erat, maka itulah yang akan dipilih. Cara-cara seperti itu tentu tidak sepenuhnya salah, tetapi dalam hal menentukan pilihan politik, cara tersebut tidak tepat. Pilihan yang dilatarbelakangi hubungan kekeluargaan berpeluang besar terhadap terjadinya praktik nepotisme. Maka jangan heran, jika di beberapa daerah, beberapa posisi penting dalam pemerintahan diduduki oleh kerabat dekat sendiri.
Begitu pun dengan pilihan yang dilatarbelakangi faktor ekonomi. Tidak bisa dipungkiri, satu-satunya kelemahan yang selalu berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh para politisi adalah ketidakberdayaan para pemilih dalam hal ekonomi. Cukup dengan lima puluh hingga seratus ribu rupiah per kepala—memakai istilah sekarang—selesai bola-bola.
Selain sebagai beban yang harus ditanggung, baik bagi politisi mau pun para pemilih, ketidakberdayaan ekonomi juga seolah menjadi sebuah berkah yang harus disyukuri. Terutama saat menjelang musim politik. Dengan kata lain, ketidakberdayaan ekonomi sudah menjadi produk jualan unggulan. Di mana para calon berperan sebagai pembeli, dan pemilih bertindak sebagai penjual. Tentu saja dalam jual-beli, pembeli akan berusaha mendapatkan barang semurah mungkin, sedangkan penjual akan memasang harga setinggi mungkin.
Tidak mengherankan, jika setiap pemilihan selesai, program kerja prioritas si terpilih adalah P2M (Program Pengembalian Modal). Sedangkan para pemilih yang kecewa karena merasa dikibuli, akan turun ke jalan dengan membawa spanduk atau poster sambil menyuarakan keinginan-keinginan mereka yang tidak kunjung dipenuhi oleh si terpilih. Begitu seterusnya.
Semoga saja, pada pemilihan kepala daerah tahun ini, para pemilih tidak hanya sekadar menggunakan hak pilihnya. Jika hal tersebut terjadi, maka bisa dipastikan, korupsi, kolusi, nepotisme dan demonstarsi masih akan menjadi hiburan yang membosankan lima tahun ke depan.
Menentukan pilihan politik tanpa mempertimbangkannya terlebih dahulu kurang lebih sama halnya dengan judi bola, bahkan dampaknya bisa lebih fatal. Dalam judi bola, jika kalah karena keliru memilih klub, hanya butuh waktu tiga hingga lima hari untuk menghilangkan dampak buruk kekalahan.
Sedangkan dalam politik, dampak kekalahan bisa terasa hingga lima tahun. Tidak hanya itu, jika dampak kekalahan judi bola hanya berimbas ke personal (yang terlibat judi), maka dalam politik, baik yang ikut serta atau pun yang tidak, semuanya berpeluang besar terkena kena dampak. Bahkan yang memilih dengan tepat bisa jadi keliru setelah si calon terpilih.
Jadi, untuk meminimalisir kekeliruan dalam menentukan pilihan, sekali lagi, ada baiknya kita mempertimbangkannya terlebih dahulu. Toh, kalau pun ternyata pada kontestasi politik tahun ini tidak ada yang dianggap tepat untuk menjadi wakil, tidak ada salahnya jika kita mengambil pilihan lain.
Menjadi wakil untuk diri sendiri. Mandiri. Kalau kata Bung Karno, Berdikari; berdiri di atas kaki sendiri. Tentu dengan bekerja dan belajar lebih giat. Entah itu menggarap sawah, mengail ikan, menanam sayuran di kebun belakang rumah, atau dengan sesekali membaca buku di waktu senggan. Karena dengan demikian, kita tidak hanya sekedar menjalani hidup, tetapi juga lebih menghargai kehidupan.
Yogyakarta, Juni 2018
Tentang Penulis—Andi Kaneko, Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Sarjanawiaya Tamansiswa Yogyakarta.