Rapat dengar pendapat antara Pemprov Sulbar ( Sekda Sulbar dan Kadisdikbud Sulbar) di aula gubernuran Sulbar
Mamuju, mandarnews.com – Rapat Koordinasi Kepala SMA,SMK, dan SLB se-Sulawesi Barat antara pemerintah Provinsi Sulbar kembali menemui ketidakjelasan terkait nasib honor pegawai tidak tetap/guru tidak tetap (PTT/GTT) yang belum terbayarkan selama 5 bulan tahun 2018 dan 6 bulan tahun 2019.
Rapat yang diadakan di aula kantor Gubernur Sulawesi Barat itu dihadiri Sekertaris Daerah Provinsi Sulawesi Barat, Muh. Idris, Kadis Pendidikan dan Kebudayaan Sulbar, Arifuddin Toppo dan sekitar 200 kepala sekolah SMA sederajat se Sulawesi Barat, kemarin.
Dari sejumlah jejak pendapat yang diungkap, sejumlah kepala sekolah menyampaikan pokok masalah yang sama yaitu kejelasan terkait nasib PTT/GTT. Para kepala sekolah khawatir proses belajar mengajar terganggu jika seandainya hal ini tidak segera di tangani karena sebagian besar sekolah masih tergantung pada jasa PTT/GTT.
Para kepala sekolah menyebut tidak bisa berbuat banyak jika PTT/GTT mogok mengajar dikarenakan gaji yang tidak menemui kejelasan.
Kepala Sekolah Luar Biasa (SLB) Tobadak Alfonsus Suhardi, menyebut empat SLB se-Sulbar belum memiliki guru tetap yang ber status PNS, diantaranya SLB Negeri 1 Tobadak, SLB negeri Mamasa, SLB Negeri Mapilli, dan SLB Negeri Baitang, dan hingga saat ini semuanya masih tergantung kepada jasa PTT/GTT.
“Tidak ada guru yang bersatus PNS, kecuali Kepala Sekolah dikarenakan sekolah negeri. Semuanya menggunakan jasa PTT/GTT dari empat sekolah itu semua memiliki pemasalahan yang sama,” ungkap Alfonsus Suhardi.
Sementara kepala SMA Negeri 7 Majene, Muhammad Nasru meminta pemerintah provinsi segera mengalokasikan dana untuk PTT/GTT. Dia menyebut, dari 567 siswa hanya 8 guru tetap sebagai PNS, dua lainnya tata usaha.
“Kami sangat tergantung PTT/GTT pak, untuk itu kami berharap berapapun bantuan pemerintah daerah bisa bantu kami akan maksimalkan, dari 567 siswa hanya 8 guru yang pns, coba kalau PTT/GTT berhenti karena gaji,” tutur Nasru.
Sedang seorang kepala sekolah lainnya (tidak ingin disebut nama) mengatakan, sejak keberangkatan mereka dari berbagai wilayah datang ke provinsi, mereka harus menginap di mushola kantor gubernur dikarenakan tidak ada tempat yang disediakan pemprov untuk mereka. Belum lagi soal akomodasi dan uang makan harus ditanggung sendiri, sedangkan mereka mengaku sudah enam kali dipanggil rapat koordinasi tetapi tidak menemuai kejelasan.
“Kami tiba di Mamuju Subuh pak, terpaksa menginap di mushola menunggu waktu mereka, ongkos di tangung sendiri, kami hanya di berikan kue (jalangkotek dan air mineral). Sudah enam kali pak kami dipanggil tetapi janjinya disuruh sabar,”
ujar salah seorang peserta rakor yang tidak ingin menyebutkan namanya.
Saat dimintai kejelasan dari para kepala sekolah yang hadir, sekretaris daerah provinsi sulbar, Muhammad Idris memberikan tiga mandat untuk di bawah pulang para Kepsek.
“Yang pertama, suruh sabar ya pak, kedua informasikan bahwa pemprov terus mendorong untuk APBD perubahan tapi itu kalau disetujui ya pak, karena kan harus pakai lobi politik dulu, ketiga bahwa untuk SK harus melalui uji kompetensi dulu (sampaikan secara halus),” tutur Muhammad Idris.
Di tempat yamg sama Kadis pendidikan dan Kebudayaan, Arifuddin sempat menetaskan air mata di tengah rapat tersebut lantaran dia mengakui bahwa keterbatasan Dinas Pendidikan Sulbar soal anggaran memaksanya tidak bisa berbuat banyak. Dari estimasi anggaran, kata Arifuddin, sekitar Rp18 Milliar yang dibutuhkan hanya tersedia Rp6,3 Milliar, sehingga harus melakukan efisiensi dengan megurangi jumlah gaji PTT/GTT menjadi kurang lebih Rp.140 ribuan perbulan.
Saat dimintai keterangan, oleh awak media mandarnews, Kadis Pendidikan tersebut enggan berbicara lebih banyak. Ia mengarahkan mendapat jawaban dari kepala bidang.
“Silahkan di tanyakan (kepala bidang), saya rasa cukup ya,” kata Arifuddin.
Reporter : Sugiarto