Perempuan mengurusi publik dan sekaligus domestik. Jadi misalnya mengutip Komnas Perempuan, sebanyak 70 % responden menyatakan pekerjaan perempuan menjadi bertambah. Karena harus bekerja di rumah itu, menjadikan sebagian orang yang tinggal di rumah itu. Akses pertolongan pun menjadi berkurang, kondisi ekonomi memburuk, sehingga tingkat stress menjadi tinggi.
Sementara peneliti dari Universitas Padjajaran, Dr. Binahayati Rusyidi, MSW, mengungkap hasil penelitian yang pernah dilakukannya di Sumba. Penelitian yang terbarunya itu tidak berfokus langsung ke dampak pandemic covid-19 namun tetap melakukan pengkajian pandangan terkait pandemic ini. Hasil yang diperoleh bahwa pengurangan alokasi dana menghambat instansi teknis terkait dalam perlindungan perempuan dan anak.
Peneliti ini juga mengungkap hasil penelitian terhadap perempuan pekerja yang karena kebijakan dalam menghadapi pandemic covid-19 membuat daya ruang bergerak makin sempit.
“Ruang bergerak perempuan makin sempit ketika mereka harus dirumahkan, mereka kehilangan sumber dukungan yang biasa didapatkan dari teman-teman. Sulit mendapatkan sumber bantuan yang biasnya mereka dapatkan. Meskipun tidak semua melaporkan kejadian yang dialami untuk mendapatkan penanganan, tidak semua melaporkan kekerasan yang dialami tapi mereka masih menggantungkan dukungan emosional atau instrumental dari rekan-rekan kerja,” sebutnya.
Ia juga menyebut bahwa sistem saat ini belum mampu mengantisipasi kondisi emergency dan kita tidak cukup belajar terhadap kasus-kasus yang sebelumnya.
“Isu kekerasan ini kurang mendapatkan perhatian karena mau tidak mau harus berkompentisi dengan isu yang lebih besar. Pemotongan-pemotongan yang berbarengan dananya diperlukan terhadap perempuan
semakin memarginalkan posisi perempuan di masyarakat,Ā akses-akses terbatas karena lebih banyak terkurung,” terangnya.
Dalam situasi pandemic, faktor-faktor pelindung perempuan misalnya dukungan sosial menjadi berkurang karena social distancing menyebabkan layanan menurun, baik keluarga maupun lingkungan sehingga pelaku leluasa melakukan kekerasan.
Stres dalam keluarga karena pemutusan kerja, meningkatnya kemiskinan, mengalami stres karena dia harus menangani warga dan sekaligus mengajari mendampingi anak.
Petty S. Fatimah, pemimpin redaksi majalah Femina, menyatakan telah dua kali melakukan survey mengenai apa yang dirasakan perempuan di masa pandemic covid-19. Salah satunya, pada bulan Juni 2020 yang diikuti 33% anak di bawah 20 tahun selebihnya 33 tahun ke atas. Jumlah responden sebanyak 1.063 perempuan.
Dari survey ini diperoleh data yang dirasakan responden dalam situasi pandemic covid-19, yaitu :
1. Sangat khawatir terhadap perkembangan covid-19. Sebanyak 90 % mengatakan ia begitu gelisah dan takut terhadap apa yang akan terjadi dengan covid-19 ini, baik terhadap dirinya maupun keluarganya.
2. Perempuan ingin tahu apa yang dilakukan pemerintah.
3. Mereka membutuhkan ilmu baru untuk mendidik anak di rumah.
Ada tugas baru dari perempuan -mau bekerja atau tidak- yaitu menjadi guru mendadak. Ini bukan sesuatu hal yang mudah karena tidak semua orang memiliki kesabaran.
Mungkin tanpa sadar ada ayah dan ibu yang melakukan kekerasan karena ndak sabar mendidik anak di rumah.
4. Work from home yang efektif. Tampak gampang bisa bekerja di rumah karena walau hanya pake piyama, daster, tapi mengelola tim dari mana-mana bukan sesuatu yang gampang sementara ada dead line
5. Mereka ingin tahu bagaimana mengatasi konflik yang terjadi di dalam rumah. Peluang terjadinya konflik semakin besar karena multi for hour bersama. Ini benar-situasi yang sangat menekan.
Aktris sekaligus aktivis perempuan, Nova Eliza, menyampaikan hal yang kurang lebih dari pembicara sebelumnya. Ia bahkan menyampaikan kondisi yang dialami sebagai seorang single parent dalam menghadapi dampak pandemic covid-19, terutama dalam hal melakukan pendampingan terhadap anak dalam pembelajarannya. Founder Yayasan Suara Hati Perempuan ini mengaku kewalahan dalam melakukan pendampingan karena banyaknya materi yang harus ditangani seorang diri.
Semua pembicara dalam diskusi ini memiliki kesamaan pandangan bahwa kebijakan yang diterapkan dalam situasi pandemic covid-19 meningkatkan peluang terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan anak. Bahkan berdampak kepada terhambatnya penanganan terhadap terjadi kekerasan gender ini.