Dalam perkuliahan terakhir semester ini (Jum’at, 28/12/2018) dengan para mahasiswaku, saya bertanya: apakah mereka tahun lalu ikut merayakan pergantian tahun dengan menyalakan petasan dan kembang api? Dari 37 orang mahasiswa yang hadir, semua menjawab ikut.
Berapa anggaran yang dipakai untuk membeli petasan tersebut? Nominalnya bervariasi. Ada yang menjawab dua puluh ribu, ada yang lima puluh ribu, ada juga yang menjawab seratus ribu rupiah.
Seorang mahasiswa yang berjilbab biru menjawab dengan nilai yang membuat saya kaget bukan main. Satu juta Rupiah. Sekali lagi : satu juta Rupiah.
Jika dirata-ratakan jumlahnya, maka saya ambil nominal Rp 50.000,00 per mahasiswa menggunakan uangnya membeli petasan dan kembang api tahun lalu. Kalau dikalikan dengan 37 orang mahasiswa, maka diperoleh nilai Rp 1.850.000,00 atau satu juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah. Artinya apa, ada uang sebanyak itu dibakar dalam satu malam untuk menyambut tahun baru.
Untuk dapat dibandingkan, bulan Oktober lalu, saya memprovokasi para mahasiswaku tersebut untuk menyumbang korban bencana alam di Palu Donggala. Diperoleh dana sekitar Rp 1.300.000,00 atau satu juta tiga ratus ribu rupiah, dari seluruh mahasiswa di kelas tersebut dengan sistem sukarela atau tanpa ditentukan nominalnya.
Dengan demikian dapat dilihat bahwa, jumlah uang yang mereka bakar dengan membeli petasan dan kembang api untuk merayakan tahun baru dalam satu malam, lebih banyak dari jumlah sumbangan mereka untuk misi kemanusiaan.
Manakala kita coba perbandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang merayakan pergantian tahun dengan menyalakan petasan dan kembang api, maka jumlahnya tentu akan jauh lebih banyak lagi.
Saat ini penduduk Indonesia hampir mencapai 300 juta jiwa orang. Jika rakyat Indonesia yang membeli petasan diambil dengan jumlah minimal misalnya, sebanyak seratus juta orang. Jika rata-rata per orang mengeluarkan uang untuk membeli petasan sebesar Rp 50.000,00 maka akan diperoleh jumlah sebanyak Rp 5.000.000.000.000,00 atau lima triliun Rupiah.
Jadi dapat dibayangkan pada tahun lalu, jumlah uang yang dibakar di negeri ini untuk satu malam minimal adalah sebanyak lima triliun Rupiah. Angka yang sangat fantastis dan luar biasa.
Hebat benar kita bangsa Indonesia bangga membakar uang sebanyak itu dalam satu malam. Apakah ini dapat diartikan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia sudah meningkat? Apakah bangsa kita sudah maju, modern dan setara dengan bangsa-bangsa lain, sehingga tak merasa merugi jika ikut membakar uang sebanyak itu?
Tentu itu semua disebutkan atas nama hiburan, kebebasan, mengikuti perkembangan masyarakat dunia, sekedar refreshing, hanya sekali-sekali, suka-suka, uangku adalah urusanku, bukan urusanmu, dan seterusnya.
Masih banyak argumen lain dari berbagai pihak untuk membenarkan tindakan tersebut. Bahkan banyak diantara kita yang senang dan bangga. Para orang tua, tak segan-segan menggelontorkan uang ratusan ribu untuk membeli petasan. Alasannya supaya anak-anaknya senang dalam satu malam.
Tidak kurang pemerintah daerah menganggarkan dana dari APBD atau APBN, untuk melakukan pesta perayaan tahun baru. Memang tidak ada tertulis anggaran membeli petasan dan kembang api. Yang ada adalah anggaran perayaan tahun baru dan atau kalimat lain yang tujuannya adalah sejenis.
Demikian pula dengan pihak swasta dan perusahan-perusahaan terkemuka, menyediakan anggaran untuk perayaan tahun baru. Saya pernah dengar ada satu perusahaan mengganggarkan Rp 150.000.000,00 atau seratus lima puluh juta Rupiah untuk membeli petasan dan kembang api. Itu selesai dibakar dalam satu malam.
Tak banyak pihak yang merasa itu adalah sesuatu yang mubazzir atau perbuatan sia-sia, ditinjau dari sudut pandang agama apapun. Baik dari kalangan politisi Islam, akademisi Islam, maupun cendekiawan non Muslim, maupun tokoh masyarakat, jarang ada yang menyuarakan hal tersebut. Boleh dikata, tidak ada pula yang mengganggap bunyi petasan sampai tengah malam sebagai sesuatu yang mengganggu ketentraman masyarakat sebagaimana suara pernah dituduhkan untuk suara mengaji dari masjid. Tidak ada seminar atau diskusi tentang bagimana upaya mengantisipasi hal itu.
Kalaupun ada yang menyuarakannya, hampir tak terdengar kecuali pada lingkup yang sangat kecil pun terbatas. Itupun dianggap angin lalu.
Padahal dilihat dari berbagai aspek, hampir tidak ada kaitan antara pesta tahun baru itu dengan peningkatan kualitas kesejateraan rakyat, peningkatan mutu pendidikan anak-anak sekolah, perbaikan pendidikan karakter, nilai akreditasi sekolah, penghargaan dari pemerintah pusat, apalagi dapat meningkatkan kualitas iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Sebab apa, karena itu adalah perbuatan sia-sia, perbuatan mubazzir yang tidak ada gunanya. Yang ada adalah kebanggaan sesaat karena telah menyamai pesta perayaan tahun baru di luar negeri.
Ketika saya menyatakan kepada mahasiswa bahwa uang sebanyak lima triliun itu, jika dikumpulkan, akan dapat dipakai untuk membangun lapangan sepak bola di setiap desa dan kelurahan seluruh Indonesia dengan ukuran lapangan standar internasional. Mereka tertawa dan bingung. Kok lapangan sepakbola? Ya, lapangan sepakbola yang nyaman sudah langka di negara ini.
Sebagian besar sudah dibanguni perumahan, gedung pencakar langit, dan sebagian lainnya ditanami pohon mangga dan coklat. Ada juga yang dikavling untuk rumah pribadi pihak-pihak tertentu.
Tidak ada lagi tempat anak-anak main bola. Mereka terpaksa main bola di jalan raya. Ada yang sampai tertabrak kendaraan, meninggal dunia. Anak-anak tak punya lapangan untuk latihan main bola. Akibatnya, jarang ada lagi pemain rakyat Indonesia yang berkualitas. Makanya dipakailah pemain asing dengan bayaran yang mahal. Setiap kesebelasan di Indonesia memiliki pemain asing. Gajinya berlipat-lipat dibanding pemain lokal. Sedangkan kualitas permainan mereka pun tak sebagus yang diharapkan. Bahkan sering main kasar dan dapat kartu merah. Prestasi sepak bola Indonesia bahkan masih belum dapat dibanggakan.
Mudah-mudahan tahun ini perayaan tahun baru dengan menggunakan petasan dan kembang api mulai berkurang, kalau sama sekali tak bisa dihindari.
Beberapa Gubernur dan Bupati/Walikota sudah menghimbau agar menghindari perayaan yang demikian. Justru dihimbau untuk melaksanakan kegiatan keagamaan untuk merayakannya. Ini perlu mendapat sambutan positif. Sudah ada kesadaran kolektif dari para pemimpin, terutama setelah adanya bencana alam di berbagai daerah. Demikianlah seharusnya sikap pemimpin, memiliki kepekaan sosial dan sensitivisme terhadap nasib rakyat yang memilihnya. *
Wassalam
Bakung Samata Gowa, 30 Desember 2018
(catatan: boleh dimuat atau dibagikan tanpa harus izin dari saya).